Mari mulai menanamkan kesadaran dalam cinta.
Agar setiap kata yang keluar dari mulut kita bukan hanya terdengar, tapi juga menguatkan.
Agar setiap tindakan yang kita ambil bukan sekadar niat baik, tapi juga berdampak baik.
Anak-anak bukan lembar kosong untuk ditulis dengan cerita kita. Mereka adalah pribadi yang sedang belajar mengenal dunia, dan tugas kita adalah menjadi kompas, bukan cambuk.
"Anak-anak tidak butuh orang tua sempurna. Mereka butuh orang tua yang mau belajar untuk tidak menyakiti."
Berikut lima tanda perilaku toxic parenting yang sering hadir dalam keseharian—tanpa disadari—namun membekas dalam jiwa anak-anak kita:
1. Membandingkan Anak dengan Orang Lain atau Saudaranya Sendiri
"Coba lihat kakakmu, nilainya bagus. Kamu kapan bisa begitu?"
Kalimat ini mungkin terdengar biasa bagi sebagian orang tua. Tujuannya sederhana: memotivasi. Namun, di mata anak, ini adalah bentuk pengingkaran atas jati dirinya. Mereka merasa tidak cukup baik, tidak cukup berharga, dan selalu kalah.
Seorang anak yang tumbuh dengan bayang-bayang kakaknya yang "sempurna" cenderung menjadi pribadi yang minder, sulit menilai dirinya secara objektif, dan selalu merasa gagal, meski sudah berusaha maksimal.
Dampaknya, anak cenderung tumbuh dengan rasa rendah diri, memiliki kecemasan sosial, dan sulit membangun hubungan yang sehat karena terus merasa “kurang”.
2. Mengatur Semua Keputusan Tanpa Memberi Ruang Suara Anak
"Kamu ambil jurusan itu saja, Mama tahu yang terbaik!"
Saat anak tidak diberi kesempatan untuk memilih, mereka tumbuh tanpa kepercayaan pada diri sendiri. Mereka kehilangan arah dan terbiasa menggantungkan keputusan pada orang lain, karena sejak kecil suara mereka tak pernah dianggap penting.
Anak yang dipaksa kuliah di jurusan pilihan orang tua akhirnya merasa tertekan, tidak berkembang, dan kehilangan semangat belajar. Bahkan, banyak yang berakhir dropout atau bekerja di bidang yang tidak sesuai passion.