Â
      "Iya, kiai."
Â
      Kiai Muhammad berpamitan pada pak Asan karena ada kepentingan menjegok kerabat di rumah sakit kecamatan. Pak Asan pun mencium tangan Kiai Muhammad yang dikenal alim dan wara` di desa ini.
Â
      Mentari menampakkan diri. Pak Asan melaksanakan sholat Dhuha. Lalu pulang ke rumah seolah tidak ada kejadian sama sekali.
Â
***
      Senja hampir berakhir ditelan gelap malam. Pak Asan duduk di atas tembok amper rumahnya sembari merokok kretek. Angin senja masih saja menyapa wajahnya meski senja akan segera berakhir. Dia teringat pesan kiai Muhammad bahwa beliau menyuruhnya untuk sowan ke rumahnya hampir manghrib. Seketika, dia sadar dan langsung pergi ke rumah kiai karismatik di desa ini. Tak lupa, dia membawa pisang yang sengaja diambil dari kebun samping rumah untuk diberikan pada keluarga kiai Muhammad.
      Dalam perjalan memikul pisang di bahu. Terbersit dalam pikirannya, alasan apa kiai Muhammad memanggilnya? Tapi dia tak memperdulikan itu semua, pasti paggilan kiai adalah kehormatan terbesar dalam dirinya. Meski terasa berat memopoh pisang, tapi terasa manis untuk dinikmati.
      Di tengah perjalanan yang berlobang-lobang. Pak Asan melihat seorang anak dengan monyet di bahu seperti dirinya. Pak Asan berhenti dan melihat wajah anak kecil di sampingnya. Sepertinya, dia belum melihat seorang lelaki dengan monyet di desa ini. Dia mengernyitkan dahi. Lalu, mengingat kembali wajah-wajah anak desa yang pernah ditemui tapi tak sama dengan di depannya. Lantas siapa anak ini? Mana orang tuanya?