Mohon tunggu...
P.N. Estu
P.N. Estu Mohon Tunggu... Penulis

Menulis menjadi cara merefleksikan hasil baca. Dengan menulis aku belajar.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Trilogi Kontemplasi Puisi

3 Oktober 2025   20:44 Diperbarui: 3 Oktober 2025   20:44 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://sora.chatgpt.com/g/gen_01k6j51xnhfphv9hwevcx4hrh6

(Puisi-2025)

Setiap bulan menyimpan cerita: ada yang telah terpahat, ada yang menunggu untuk di buka. Ada yang sedang menjadi jeda: teduh mengepul doa.

Tiga puisi ini adalah catatan rasa -- tentang bagaimana tubuh, jiwa, dan harapan tetap berjalan beriringan di bawah langit yang selalu berganti wajah dan aroma.

1. Bulan Berat Kupahat

september datang, kata penyanyi penuh ceria

namun, di mataku ia masih menyimpan jejak

hujan yang belum reda

langit membawa ingatan pada tubuh yang sempat rapuh,

di hari-hari panjang ketika rumah menjadi tempat sakit berlabuh

waktu bergulir,

serasa air mengering: kepul asap dapur tampak sumbing,

di halaman, daun-daun gugur

seperti harapan yang harus kembali kupungut satu-satu

menghadapMu

aku nyalakan pelita kecil

meski angin sering mengguncang nyalanya

kujaga terangnya,

sambil menenun benang-benang doa

di dalam penantian sunyi

Kau yang tahu apa yang perlu

untuk diriku,

cukup: menjadi takaran rasa dan lakuku

menjadi persembahan dan heningku.

2. Sesruput Kopi, Seteguk Cahaya

segelas kopi di hadapanku mengaroma,

menyelimuti syaraf pijar mataku

setiap seruputnya menjadi mujahadah rasa

dalam memandang langitnya

langit sore ini masih membiru,

mentari teduh di pucuk daun

menanti merah yang membilasnya lembut

siang yang kering tadi

menyisakan lelah semalam

kening menunggu letupan sinyal

dari organ-organ yang mengirim getar

getaran merambat dari pusat-Nya

di dasar dada,

mengetuk nama-Nya

aliri gelombang semesta

ke seluruh nuansa tubuh dan jiwa

aku lagukan ia

dengan sesruput kopi terakhirku,

mungkin tampaknya kumenatap hampa

namun, kumembaca peristiwa-peristiwa

yang minta dihisap dan hembuskan dengan cahaya

percikan cahayanya

membuka pijar-pijar diriku,

kuteguk rasanya

dalam aliran padu.

3. Halaman Depan Bulan Oktober

kulukis kembali lengkung rembulan

di oktober yang masih awal

mengantar jejak-jejak tanggal

yang harus kulunaskan

kenyataan menjadi kata

yang sekarang berlabuh di retina,

telinga, dan cecap rasa;

bukan lalu yang menumpuk di rak otakku

atau pun esok yang sinyalnya belum menyala

di persimpangan,

kukawal tiap detak,

kukawal tiap hembus dan desah,

kukawal tiap langkah

untuk mengasah sinar siang dalam menimba harapan,

di perjamuan syukur yang harus tetap kuminum.

* Trilogi ini kutulis sebagai aliran. Meski bulan datang dan pergi, suka duka berganti posisi, ia tetap mengalir dan bisa diteguk kesegarannya bagi siapa saja yang ingin mengobati dahaga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun