(Puisi-2025)
Setiap bulan menyimpan cerita: ada yang telah terpahat, ada yang menunggu untuk di buka. Ada yang sedang menjadi jeda: teduh mengepul doa.
Tiga puisi ini adalah catatan rasa -- tentang bagaimana tubuh, jiwa, dan harapan tetap berjalan beriringan di bawah langit yang selalu berganti wajah dan aroma.
1. Bulan Berat Kupahat
september datang, kata penyanyi penuh ceria
namun, di mataku ia masih menyimpan jejak
hujan yang belum reda
langit membawa ingatan pada tubuh yang sempat rapuh,
di hari-hari panjang ketika rumah menjadi tempat sakit berlabuh
waktu bergulir,
serasa air mengering: kepul asap dapur tampak sumbing,
di halaman, daun-daun gugur
seperti harapan yang harus kembali kupungut satu-satu
menghadapMu
aku nyalakan pelita kecil
meski angin sering mengguncang nyalanya
kujaga terangnya,
sambil menenun benang-benang doa
di dalam penantian sunyi
Kau yang tahu apa yang perlu
untuk diriku,
cukup: menjadi takaran rasa dan lakuku
menjadi persembahan dan heningku.
2. Sesruput Kopi, Seteguk Cahaya
segelas kopi di hadapanku mengaroma,
menyelimuti syaraf pijar mataku
setiap seruputnya menjadi mujahadah rasa
dalam memandang langitnya
langit sore ini masih membiru,
mentari teduh di pucuk daun
menanti merah yang membilasnya lembut
siang yang kering tadi
menyisakan lelah semalam
kening menunggu letupan sinyal
dari organ-organ yang mengirim getar
getaran merambat dari pusat-Nya
di dasar dada,
mengetuk nama-Nya
aliri gelombang semesta
ke seluruh nuansa tubuh dan jiwa
aku lagukan ia
dengan sesruput kopi terakhirku,
mungkin tampaknya kumenatap hampa
namun, kumembaca peristiwa-peristiwa
yang minta dihisap dan hembuskan dengan cahaya
percikan cahayanya
membuka pijar-pijar diriku,
kuteguk rasanya
dalam aliran padu.
3. Halaman Depan Bulan Oktober
kulukis kembali lengkung rembulan
di oktober yang masih awal
mengantar jejak-jejak tanggal
yang harus kulunaskan
kenyataan menjadi kata
yang sekarang berlabuh di retina,
telinga, dan cecap rasa;
bukan lalu yang menumpuk di rak otakku
atau pun esok yang sinyalnya belum menyala
di persimpangan,
kukawal tiap detak,
kukawal tiap hembus dan desah,
kukawal tiap langkah
untuk mengasah sinar siang dalam menimba harapan,
di perjamuan syukur yang harus tetap kuminum.
* Trilogi ini kutulis sebagai aliran. Meski bulan datang dan pergi, suka duka berganti posisi, ia tetap mengalir dan bisa diteguk kesegarannya bagi siapa saja yang ingin mengobati dahaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI