Mohon tunggu...
Putra Dewangga
Putra Dewangga Mohon Tunggu... Content Writer di SURYA.co.id

Hanya seorang penulis di media online

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

STEM Berbasis Kearifan Lokal, Dari Perahu Bugis hingga Rumah Gadang

16 September 2025   20:56 Diperbarui: 16 September 2025   20:56 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi STEM Berbasis Kearifan Lokal (Sumber: Gemini AI)

Di Bali, kita mengenal sistem Subak yang sudah berusia ratusan tahun. Sistem pengelolaan air berbasis komunitas ini bukan hanya tradisi religius, tetapi juga teknologi berkelanjutan. Prinsipnya sama dengan manajemen sumber daya modern: efisiensi, pemerataan, dan keberlanjutan. Murid bisa mempelajari biologi, hidrologi, dan etika lingkungan dari Subak tanpa harus menunggu akses ke laboratorium canggih.

Dan jangan lupakan batik. Banyak orang melihatnya hanya sebagai seni kain, padahal di baliknya ada kimia pewarnaan, matematika pola, hingga teknologi konservasi. Saat murid membatik, mereka bukan hanya melestarikan budaya, tetapi juga belajar sains lewat eksperimen warna dan geometri motif.

Semua contoh ini membuktikan satu hal: STEM bukan sesuatu yang jauh di awang-awang. Ia ada di sekitar kita, melekat dalam budaya Nusantara. Dengan menjadikan kearifan lokal sebagai pintu masuk STEM, kita tidak hanya memperkaya cara belajar, tetapi juga menumbuhkan rasa bangga. Murid akan sadar bahwa mereka tidak hanya konsumen teknologi, tetapi juga pewaris pengetahuan yang sudah ratusan tahun mendahului zaman.

Pertanyaannya, mengapa pendekatan STEM berbasis kearifan lokal ini penting? Jawabannya sederhana: karena ia membuat murid merasa dekat dengan materi yang mereka pelajari.

Selama ini, banyak anak yang menganggap sains itu rumit, penuh angka dan istilah asing. Mereka merasa ilmu itu bukan bagian dari dunia mereka. Padahal, begitu mereka diajak mempelajari aerodinamika lewat layar perahu Pinisi atau fisika struktur lewat Rumah Gadang, tiba-tiba sains menjadi sesuatu yang akrab, bahkan membanggakan. Inilah salah satu kunci menuju Pendidikan Bermutu: menghadirkan pelajaran yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, bukan sekadar hafalan.

Alasan kedua adalah soal aksesibilitas dan biaya. Membawa laboratorium robotik ke desa tentu memerlukan investasi besar, dan tidak semua sekolah bisa memilikinya. Tapi mengajarkan STEM lewat rumah adat, sawah, sungai, atau kain batik yang sudah ada di sekitar murid? Itu jauh lebih murah dan mudah dilakukan. Bahkan sekolah di pelosok pun bisa mengimplementasikannya tanpa menunggu bantuan besar. Dengan cara ini, murid di desa tidak akan merasa tertinggal dari murid di kota. Mereka sama-sama punya kesempatan untuk Siap Hadapi Tantangan Abad 21.

Yang tak kalah penting, pendekatan ini menumbuhkan kebanggaan budaya sekaligus skill global. Murid tidak hanya belajar teknologi, tapi juga menyadari bahwa bangsa mereka punya warisan ilmu yang diakui dunia. Rasa percaya diri ini penting, karena di tengah arus globalisasi, identitas budaya sering tergerus. Dengan STEM berbasis kearifan lokal, kita justru bisa melahirkan generasi yang kuat secara pengetahuan dan kokoh dalam jati diri.

Singkatnya, STEM berbasis budaya adalah jalan tengah yang indah: ia membumi, murah, relevan, sekaligus mengantar murid ke panggung global.

Beberapa sekolah di Indonesia sebenarnya sudah mulai mencoba menjembatani Pendidikan Bermutu dengan kearifan lokal sebagai pintu masuk STEM. Misalnya, siswa diajak membuat proyek miniatur perahu Pinisi dengan memanfaatkan kayu sederhana. Dari sini, mereka bukan hanya belajar tentang aerodinamika dan desain kapal, tetapi juga mengenal tradisi bahari Nusantara.

Di tempat lain, guru IPA berkolaborasi dengan guru seni untuk mengenalkan batik sebagai laboratorium kimia dan matematika pola. Murid belajar bagaimana pewarna alami bekerja, bagaimana lilin berfungsi sebagai resist, hingga bagaimana pola geometri terbentuk. Bagi mereka, sains tidak lagi sebatas rumus di papan tulis, tetapi nyata dalam budaya sehari-hari.

Kolaborasi lintas mata pelajaran juga penting. Guru sejarah bisa menjelaskan konteks lahirnya Subak di Bali, sementara guru IPA menekankan konsep ekologi dan manajemen air. Dengan begitu, pembelajaran menjadi utuh, menyenangkan, sekaligus mempersiapkan murid agar siap hadapi tantangan abad 21.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun