Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tenaga Kesehatan, Antara Apresiasi dan Tuduhan Manipulasi Penanggulangan Covid-19

7 Oktober 2020   04:40 Diperbarui: 8 Oktober 2020   10:04 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beredar video tentang bisnis rumah sakit dengan menetapkan pasien Covid-19, sumber foto m.liputan6.com, 3/6/2020

Pandemi Covid-19 telah menempatkan profesi tenaga kesehatan pada dua sisi yang berseberangan, mendapat apresiasi namun juga dicacimaki. Sisi caci maki dibuktikan dengan terlaksananya sidang pengadilan dengan terdakwa musisi I Gede Ari Astina alias Jerinx, drummer grup band Superman Is Dead (SID). Jerinx dinyatakan sebagai terdakwa akibat unggahan pada akun instagram pribadinya yang digugat oleh IDI Bali. 

Adapun kalimat unggahan Jerinx yang dipermasalahkan IDI Bali selengkapnya berbunyi "Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan Rumah Sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan tes Covid-19". (Kompas.com, 13/8/2020). 

Selain kasus Jerinx di Bali, di Sumenep IDI juga melaporkan 5 akun facebook ke polisi karena dinilai merendahkan profesi dokter (regional.kompas.com, 13/7/2020). Sedang di Maluku Utara IDI dan PPNI juga melaporkan seorang pengguna akun facebook ke polisi karena menghina profesi dokter dan perawat (republika, 8/6/2020).


Beredar video tentang bisnis rumah sakit dengan menetapkan pasien Covid-19, sumber foto m.liputan6.com, 3/6/2020
Beredar video tentang bisnis rumah sakit dengan menetapkan pasien Covid-19, sumber foto m.liputan6.com, 3/6/2020
Berbeda dengan di Bali, Sumenep dan Maluku utara di mana posisi IDI sebagai pelapor, di Jombang posisi salah satu fasilitas kesehatan berpotensi sebagai terlapor karena belum melibatkan fungsi kepolisian. 

Di Rumah Sakit PMC Jombang terjadi kasus pasien berstatus rapid tes reaktif yang melahirkan tanpa pertolongan tenaga medis dan bayinya meninggal dunia (Kompas.com, 6/8/2020). 

Selain kasus Jerinx, kabar penyelesaian kasus Sumenep, Maluku Utara dan RS PMC Jombang tenggelam begitu saja, sebaliknya sinyalemen adanya rumah sakit yang "mengcovidkan" diagnosis pasien yang telah beberapa lama dibicarakan masyarakat, kini mencuat lagi pada perbincangan antara Kepala KSP Muldoko dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.

Manipulasi diagnosis oleh tenaga kesehatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan korporasi adalah tindakan kriminal. Di sisi lain, Presiden Jokowi baru saja menganugerahkan penghargaan Bintang Jasa Pratama dan Bintang Jasa Nararya kepada 22 orang tenaga kesehatan yang telah gugur dalam penanganan Covid-19. 

Menteri Kesehatan pun meninjau berbagai fasilitas kesehatan dan menyerahkan santunan bagi tenaga kesehatan yang gugur dan menyerahkan insentif kepada tenaga kesehatan yang tergabung dalam tim penanganan covid-19 sesuai hak-haknya. 

Para tenaga kesehatan ini seakan setelah diangkat dengan apresiasi atas perannya yang dibutuhkan untuk menyelamatkan setiap jiwa warga masyarakat, lalu dijatuhkan hancur karena tuduhan memanipulasi data penyakit pasien untuk keuntungan finansial.

Pelayanan kesehatan dengan sasaran tiga kondisi aman

Mengulik pernyataan Jerinx bahwa IDI sebagai kacung WHO, mengharuskan kita mencermati tiga hal. Pertama pada tataran global, sejak kasus Covid-19 resmi dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO, maka terdapat regulasi penanganan di seluruh dunia sebagaimana ditetapkan dalam International Health Regulation (IHR) yang telah diratifikasi Indonesia.

Pandemi Covid-19 mengingatkan kepada dunia akan adanya resiko timbulnya wabah penyakit baru berikutnya dan ancaman penyakit potensial wabah yang sudah ada. Patut diwaspadai terhadap dua situasi tersebut, di mana bisa terjadi baik murni akibat bencana atau akibat rekayasa; termasuk serangan senjata biologi.

Situasi tersebut harus disikapi seluruh negara di dunia untuk bekerja sama terlibat penanganan isu keamanan kesehatan global. Indonesia melaksanakan kerja sama multilateral melalui forum ASEAN Center of Military Medicine (ACMM). 

Pada tanggal 28 Mei 2020 ACMM melalui pertemuan virtual membahas kerja sama dan bertukar pengalaman tentang penanganan pandemi Covid-19 di negara masing-masing (www.aa.com.tr, 28/5/2020).

Pemerintah Indonesia juga menjalin kerja sama dengan berbagai negara produsen pengembang vaksin antivirus Covid-19 selain berusaha melakukan produksi mandiri. Hal ini merupakan aksi nyata yang lebih baik dari pada sibuk menganalisis teori konspirasi yang dianut musisi Jerinx, yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Kedua, pada lingkup nasional sebagai pedoman jajaran kesehatan, sejak akhir bulan Januari sampai Juli 2020 Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemkes telah beberapa kali merevisi panduan berupa Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. 

Dalam pedoman tersebut dinyatakan bahwa mencegah transmisi infeksi Sarsc0V-2 dilaksanakan melalui serangkaian pengendalian yang meliputi administratif, pengendalian dan rekayasa lingkungan serta Alat Pelindung Diri (APD). 

Pada buku tersebut jelas tercantum bahwa evaluasi klinis dan epidemiologi harus dilengkapi dengan evaluasi laboratorium, termasuk ketentuan penggunaan rapid test bukan untuk diagnosis, namun untuk skrining atau penapisan populasi, penguatan pelacakan kontak dan tujuan penelitian epidemiologi.

Ketiga, untuk melaksanakan regulasi Dirjen P2P Kemkes pada tataran operasional, maka rumah sakit melakukan pengklasifikasian apakah pasien yang memerlukan pelayanan kesehatan, termasuk pada kasus kedaruratan di IGD tergolong Covid-19 atau masuk kategori nonCovid-19. 

Hal tersebut dilakukan rumah sakit sebagai upaya pencegahan dan pengendalian melalui penapisan berupa Rapid Test Covid-19. Upaya penapisan tersebut dilakukan diantaranya bagi pasien kasus tindakan operasi termasuk ibu yang akan melahirkan. 

Rumah sakit merupakan tempat yang beresiko menjadi transmisi penyakit, baik bagi petugas rumah sakit, setiap pasien yang berobat jalan maupun rawat inap, serta masyarakat umum di luar rumah sakit. Kegiatan preventif akan efektif bila dilakukan mulai dari alur pasien sejak saat pertama kali datang sampai keluar dari sarana pelayanan kesehatan.

Jerinx tidak melihat secara holistik implementasi rangkaian regulasi tersebut di atas. Jerinx hanya berdiri pada sisi perlindungan pasien, Jerinx tidak paham bahwa rapid test Covid-19 juga merupakan upaya menjamin terpenuhinya hak atas kesehatan bagi tenaga kesehatan rumah sakit, meskipun akan lebih baik lagi bila yang dilakukan adalah tes PCR. 

Setiap tenaga kesehatan termasuk dokter, seperti setiap warga negara RI yang lain, berhak atas kesehatan sesuai dengan UUD 1945 pasal 28H ayat 1. Jaminan negara terhadap hak atas kesehatan juga sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 9 tentang hak untuk hidup, memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas kesehatan juga tercantum dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 4.

Selain hak yang dijamin dengan undang-undang, pada aspek etis setiap dokter berkewajiban bersikap tulus ikhlas mempergunakan ilmu. kemampuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. 

Selaras dengan etika tersebut, maka lafal salah satu sumpah dokter adalah senantiasa mengutamakan kesehatan pasien dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. 

Pelaksanaan UU dan pedoman etis tersebut diaplikasikan melalui tindakan profesional dalam serangkaian Standar Prosedur Operasi (SPO) yang diterbitkan oleh manajemen rumah sakit khususnya oleh Tim Pencegahan dan Pengendalani Infeksi (PPI).

Untuk itu manajemen rumah sakit menyusun SPO dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19 yang ditujukan guna tewujudnya keamanan dan keselamatan pasien, tenaga pelayanan dan rumah sakit selaku penyedia layanan kesehatan serta masyarakat. 

Ada atau tidak ada pandemi penyakit, pelaksanaan SPO pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit, secara periodik diverifikasi oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit untuk menjamin mutu pelayanan rumah sakit, sehingga diperoleh 3 kondisi aman (aman bagi pasien, aman bagi tenaga kesehatan dan aman bagi manajemen rumah sakit).

Meskipun telah ada regulasi yang menjadi acuan fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna, namun di level operasional masih terjadi keluhan konsumen. 

Kasus Ibu bersalin di Jombang yang tidak mendapat pertolongan medis, sehingga keluarga pasien sendiri yang melakukan tindakan persalinan dan bayinya kemudian meninggal dunia, relevan dengan gugatan Jerinx dalam akun medsosnya. Pada kasus ini pasien telah taat melaksanakan kewajiban Ibu bersalin untuk mengikuti rapid test pasien dengan hasil reaktif.

Data status rapid test reaktif bermakna penting bagi tim medis untuk melakukan pertolongan persalinan dengan mempersiapkan fasilitas agar tenaga kesehatan terlindungi dari resiko penularan Covid-19. 

Selain terbitnya rekomendasi Analisis Maternal Perinatal (AMP) terhadap RS PMC dari Dinkeskab Jombang, sampai saat ini belum ada data tentang upaya penjaminan pemenuhan hak-hak pasien tersebut untuk mendapat pelayanan tindakan persalinan yang profesional oleh RS PMC Jombang dan penyebab meninggalnya bayi. 

Dapat diduga bahwa prinsip 3 Aman yang diinginkan dalam tata kelola klinik dan tata kelola korporasi di RS PMC Jombang tidak tercapai, sehingga bayi meninggal, tenaga kesehatan dan manajemen rumah sakit berpotensi digugat.

Di mana celah untuk mengcovidkan pasien ?

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menjelaskan bahwa yang disampaikan Kepala KSP adalah "apakah di Jateng juga ada yang seperti diberitakan di berbagai media tentang rumah sakit yang mengcovidkan pasien?. 

Kepala KSP juga memberi contoh kasus pasien lakalantas yang mengidap covid-19 dan meninggal dunia (Kompas.com, 5/10/2020). 

Dalam catatan penulis tedapat dua kasus bernuansa mengcovidkan pasien yang menonjol dalam pemberitaan media yaitu di Manado dan di Makassar. Di RS PK Manado dan RSU D di Makassar keluarga pasien menolak prosedur pemakaman jenazah dengan protokol Covid 19 dan menduga terdapat indikasi untuk mendapatkan keuntungan dari klaim beaya penanganan pasien Covid-19 yang akan diajukan ke Kemenkes.

Ketegangan antara pihak rumah sakit dan keluarga pasien umumnya dipicu situasi di mana hingga saat pasien dinyatakan meninggal, ternyata hasil pemeriksaan laboratorium PCR belum terbit. 

Bila ditelisik dalam hal seperti ini terdapat 4 persoalan yang berkelindan yaitu teknis, sosial, akuntabilitas dan audit medik:

Masalah teknis yang penulis maksudkan adalah terkait dengan lamanya hasil pemeriksaan laboratorium PCR sejak pengambilan sampel hingga terbitnya hasil pemeriksaan.

Masalah sosial adalah terkait adanya pendapat atau keyakinan bahwa jenazah harus segera menjalani ritual pemakaman sejak dinyatakan meninggal dunia serta yakin penyebab kematiannya adalah penyakit lain, bukan karena Covid-19. Hal ini yang mendorong pada beberapa kasus keluarga pasien mengeluarkan jenasah dari rumah sakit secara paksa.

Akuntabilitas sebagai bagian dari tata kelola korporasi yang berhubungan dengan beaya pengobatan dan perawatan pasien.

Audit medik bagian dari tata kelola klinik yang terkait dugaan penyalahgunaan kewenangan dengan sengaja merekayasa sedemikian rupa agar muncul diagnosis suatu kasus penyakit pasien sebagai Covid-19 untuk keuntungan pribadi atau korporasi.

Untuk masalah teknis pemeriksaan saat ini mungkin sudah kurang menonjol karena pemerintah telah mendistribusikan dan menambah kapasitas kemampuan fasilitas pemeriksaan laboratorium PCR ke daerah. Sedang untuk masalah sosial terkait pemakaman seharusnya di luar kewenangan personel medis rumah sakit. 

Tugas personel medis adalah merawat dan mengobati serta menjelaskan penyebab kematian pasien. Harus dicegah agar tidak terjadi benturan langsung antara tenaga kesehatan dengan keluarga almarhum pasien. 

Dalam hal ini kantor dinas agama sebagai organisasi perangkat daerah seyogyanya juga dilibatkan dan menjadi bagian dalam struktur organisasi satgas percepatan penanganan Covid-19.

Dalam persoalan akuntabilitas, pemerintah menjamin bahwa beaya penanganan pasien Covid-19 ditanggung pemerintah dengan mekanisme rumah sakit mengajukan klaim penggantian beaya kepada Kemkes RI. 

Hal inilah yang sensitif mengundang atensi masyarakat dan diskursus adanya dugaan upaya pengambilan keuntungan pengelola rumah sakit di tengah situasi bencana. 

Akuntabilitas pembeayaan penanganan pasien Covid-19 terkait erat dengan penegakan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit pasien oleh dokter penanggungjawab pasien (DPJP). 

Seluruh dokumen yang menjadi persyaratan administrasi pengajuan klaim sesuai dengan catatan berbagai tindakan yang diterima pasien yang tercantum dalam rekam medik yang ditulis oleh DPJP sesuai SPO. 

Profesionalitas DPJP dan kegiatan administrasi penanganan pasien ini merupakan bagian dari kesungguhan rumah sakit melaksanakan tata kelola klinis dan tata kelola korporasi yang baik (good clinical dan good corporate governance).

Sesuai pengalaman penulis bertugas di rumah sakit TNI, tata kelola klinik dan tata kelola korporasi dikontrol secara periodik melalui mekanisme akreditasi rumah sakit oleh KARS, maupun pengawasan berjenjang dari Staf Pengawasan Internal (SPI) rumah sakit dan inspektorat di tingkat Kotama, Angkatan dan Mabes TNI.. 

Tata kelola rumah sakit yang baik adalah penerapan fungsi-fungsi manajemen rumah sakit yang berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, independensi, kesetaraan dan kewajaran. 

Tata kelola klinis adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan klinik, audit klinis, data klinis, resiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional dan akreditasi rumah sakit.

Dari aspek profesi, benteng penanggulangan upaya manipulasi diagnosis yang harus dilewati oleh DPJP adalah mekanisme verifikasi yang ketat. Setiap hari di rumah sakit selalu ada laporan pagi dari dokter jaga dan DPJP yang membahas kasus penting dalam 24 jam yang dipimpin oleh Ketua Komite Medik Rumah Sakit. 

Pada forum ini hadir dokter IGD dan perwakilan dokter ahli dari setiap Departemen atau Staf Medis Fungsional (SMF). Forum ini juga membahas laporan kematian pasien selama pelaksanaan pelayanan dokter jaga dan dokter jaga konsultan selama 24 jam. 

Para dokter jaga dalam forum ini mempertanggungjawabkan penatalaksanaan pasien secara legeartis baik aspek klinis sesuai pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiologi serta terapi yang diberikan. Dengan demikian terdapat berbelas pasang mata dokter spesialis yang terlibat mengawasi kebenaran dokumen rekam medik pasien yang disusun DPJP.

Seluruh dokumen yang diotorisasi oleh DPJP akan menjadi lampiran yang harus disertakan sebagai persyaratan administrasi pengajuan klaim penanganan pasien Covid-19 kepada Kemkes RI. 

Dalam hal ini benteng berikutnya yang harus dilewati adalah para petugas "coding" rumah sakit dan verifikator dari BPJS. Pada tahap ini dimungkinkan terjadi konfirmasi ulang atas semua dokumen bukti tindakan DPJP karena menyangkut akurasi besaran nilai klaim total. 

Selanjutnya setelah dinyatakan benar oleh verifikator, rumah sakit baru mengajukan klaim ke Kemkes RI. Benteng terakhir adalah adanya sistem informasi pelaporan kasus Covid-19 berjenjang dari fasilitas kesehatan, Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten/Provinsi sampai nasional.

Setelah mengajukan klaim apakah urusan sudah beres?, belum, karena problem pelik berikutnya sudah menanti. Pengalaman pada pengajuan klaim BPJS pasien dengan penyakit yang lain, jumlah uang klaim akan turun berbulan-bulan kemudian, artinya rumah sakit harus lebih dulu menanggulangi biaya operasional pelayanan pasien BPJS. Rumah Sakit dituntut untuk memiliki buffer beaya operasional untuk penanganan pasien BPJS.

Hal seperti inilah yang menyulitkan manajemen rumah sakit. Rumah Sakit juga dikejar-kejar perusahaan farmasi karena harus membayar hutang obat yang telah jatuh tempo.

Dalam situasi pandemi, pendapatan rumah sakit praktis menurun dan rumah sakit terancam collapse. Inilah yang terjadi pada RS Islam Faisal di Makassar yang terpaksa menghentikan pelayanannya karena tidak mampu membayar gaji tenaga kesehatan, akibat menurunnya jumlah kunjungan pasien 80 -90%/bulan selama pandemi Covid-19 (INews, 3/7/2020).

Solusi

Perihal rapid test bagi ibu yang akan melahirkan yang dipersoalkan musisi Jerinx, timbul pertanyaan mengapa biaya pemeriksaan rapid test dibebankan kepada pasien ?. Solusi terhadap masalah ini menurut penulis adalah menggunakan dasar penetapan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional oleh pemerintah. 

Seyogyanya rapid test bagi pasien praoperasi di rumah sakit dimasukkan dalam kategori testing dan tracing surveilans epidemiologi sebagai bagian dari penanganan bencana. 

Dengan demikian pembiayaan rapid tes baik yang hasilnya non reaktif maupun reaktif, swab test dan beaya operasi bila pasien ternyata berstatus konfirmasi/positif Covid-19, oleh rumah sakit diajukan sebagai klaim penggantian beaya kepada Kemkes. 

Dengan solusi tersebut cakupan peserta tes dan kegiatan surveilans akan meningkat. Dalam hal ini masyarakat akan merasa negara hadir mengatasi bencana dan rumah sakit tidak terbebani beaya operasional. 

Sebaliknya bila ternyata hasil diagnosis laboratoris pasien praoperasi adalah nonkonfirmasi (negatif) Covid-19, beaya tindakan operasi untuk pasien peserta BPJS dibebankan kepada BPJS, atau pasien membayar bila pasien berstatus pasien umum/non BPJS.

Tentang manipulasi diagnosis untuk mengcovidkan pasien, pihak pasien yang merasa dirugikan dapat mengambil langkah hukum. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sepengetahuan penulis membantu keluarga pasien mendapatkan akses pelayanan hukum. 

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang berhubungan dengan ijin operaional fasilitas kesehatan dan IDI wilayah sebagai organisasi pembinaan profesi tentu juga akan melaksanakan peran sesuai diskripsi tugasnya. 

Apakah karena ada dugaan manipulasi diagnosis lalu diperlukan revisi terhadap klasifikasi diagnosis Covid-19, jelas tidak perlu karena nomenklatur diagnosis itu berlaku internasional di seluruh belahan dunia. Tidak ada alasan rumah sakit resistens terhadap investigasi penegakan hukum. 

Selain itu yang diperlukan adalah perbaikan kualitas komunikasi humas dan manajemen rumah sakit serta unsur penerangan satgas percepatan penanganan Covid-19 kepada keluarga pasien dan masyarakat .

Tentu institusi penegak hukum akan melakukan investigasi yang terkait tata kelola korporasi dan tata kelola klinik, dan rumah sakit akan terbuka terkait kebutuhan data pasien yang bersifat konfidensial untuk kepentingan penegakan hukum. 

Langkah hukum terhadap rumah sakit dan tenaga medis pelaku manipulasi penanganan Covid-19 ini merupakan tindakan tepat untuk mendapat kepastian hukum bagi rumah sakit dan tenaga kesehatan, daripada membiarkan isu bergulir liar karena di Indonesia terdapat sekitar 3000 rumah sakit. 

Langkah hukum juga penting karena menyangkut kepercayaan publik kepada seluruh institusi kesehatan di tanah air yang bersama seluruh komponen masyarakat sedang berjuang menanggulangi pandemi covid-19.

Wasana kata

Patut dihargai klarifikasi Gubernur Jateng Ganjar Pranowo tentang pernyataan Kepala KSP bukan menghakimi bahwa benar terjadi adanya manipulasi diagnosis dengan mengcovidkan pasien. 

Kepala KSP menyampaikan adanya informasi mengcovidkan pasien sebagaimana beritanya beredar di media massa dan apa juga terjadi di wilayah Jateng (kompas.com, 3/10/2020). 

Penulis berharap upaya pelurusan informasi tersebut diamplifikasi oleh media massa agar kepercayaan publik terhadap bakti tulus insan korps kesehatan dalam penanggulangan bencana Covid-19 tidak semakin tergerus.

Perang melawan transmisi Covid-19 belum usai, namun jajaran kesehatan sampai 3 Oktober 2020 harus rela kehilangan 130 dokter dan 94 perawat yang gugur akibat langsung maupun tak langsung dalam penanggulangan pandemi Covid-19 (kompas.com, 4/10/2020). 

Keikhlasan mereka berkorban jiwa raga semoga tidak terkotori oleh ulah oknum tenaga kesehatan yang mengcovidkan pasien dan segelintir individu yang menghina keluhuran profesi kesehatan. 

Di Surabaya petugas kesehatan dilumuri kotoran tinja oleh keluarga pasien yang akan dijemput untuk menjalani perawatan. Diperlukan usaha, kerja keras, disiplin dan gotong royong serta doa seluruh elemen bangsa dalam perang semesta melawan Covid-19. Ya usaha dan doa bersama, bukan serangkaian aksi yang hanya menimbulkan kegaduhan semata.

Salam tangguh.
Sidoarjo, 5 Oktober 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun