Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Renungan: Bukankah Kamu Diperintah untuk Membaca?

16 Oktober 2025   04:45 Diperbarui: 16 Oktober 2025   04:45 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
di Senayan tidur lebih penting dari apapun termasuk membaca - Kreasi AI

Saat berhenti membaca, kita mulai meracuni akal sehat, membunuh kepekaan, dan mengkerdilkan nurani.

Di negeri ini, banyak pejabat yang pandai berbicara tapi jarang membaca. Mereka hafal kalimat, tapi kehilangan konteks. Padahal, membaca bukan sekadar mencari informasi, melainkan menjaga akal sehat agar tidak dikeruhkan oleh kuasa dan pujian. Berhenti membaca berarti berhenti memahami dunia---dan tanpa pemahaman, kekuasaan berubah menjadi ancaman.

Setiap peradaban besar lahir dari satu kebiasaan sederhana: membaca. Tapi hari ini, membaca terasa seperti kemewahan, bahkan untuk mereka yang hidup dari keputusan-keputusan yang mengatur nasib banyak orang. Kita hidup di zaman di mana pejabat lebih rajin membuat pernyataan ketimbang membaca gagasan, lebih sibuk menghafal narasi ketimbang memahami isi. Padahal, dalam setiap jeda membaca, ada kemungkinan untuk menjadi lebih bijak. Dan di situ pula tersimpan cara paling sederhana untuk tidak menjadi berbahaya: dengan terus belajar.

"Bukankah kamu diperintah untuk membaca?"
Kalimat ini bukan soal agama, tapi soal kesadaran eksistensial: manusia yang berhenti membaca sedang menolak untuk berkembang. Membaca adalah cara paling jujur untuk meragukan diri sendiri. Siapa yang tak membaca, berhenti tumbuh. Siapa yang berhenti tumbuh, akan segera layu---meski tetap duduk di kursi kekuasaan.

1. Sebuah Perintah yang Diabaikan

Bagi banyak orang yang memegang jabatan, kekuasaan sering kali menjadi akhir dari pencarian pengetahuan. Setelah gelar, posisi, dan akses tercapai, membaca dianggap tidak lagi perlu. Padahal, di titik itulah membaca seharusnya menjadi kebutuhan yang paling mendesak.

Kekuasaan tanpa bacaan adalah ruang gema: suara sendiri terdengar paling benar karena tak ada referensi lain. Di sinilah banyak pejabat tersesat dalam keyakinan bahwa pengalaman cukup untuk menggantikan pengetahuan. Padahal, pengalaman tanpa refleksi hanyalah pengulangan.

Membaca bukan sekadar aktivitas literer, melainkan latihan kerendahan hati. Dalam setiap halaman buku, seseorang diingatkan bahwa selalu ada orang lain yang berpikir lebih dalam, melihat lebih jauh, dan merasakan lebih tajam. Itu sebabnya, orang yang rajin membaca jarang merasa paling benar. Sebaliknya, pejabat yang berhenti membaca mudah merasa paling tahu.

2. Membaca sebagai Tindakan Melawan Kejumudan

Membaca adalah bentuk perlawanan terhadap kemapanan berpikir. Setiap buku, setiap gagasan baru, mengajak kita untuk menggugat hal-hal yang selama ini kita anggap pasti.

Di ruang birokrasi yang kaku dan penuh protokol, buku sering kali menjadi benda asing. Diskusi dianggap buang waktu, pemikiran kritis dianggap gangguan, dan keinginan belajar dianggap kelemahan. Padahal, stagnasi justru tumbuh subur di tempat di mana tidak ada yang berani membaca hal baru.

Pejabat yang membaca menunda keangkuhan. Ia tahu bahwa kekuasaan bukan akhir, melainkan alat untuk menguji gagasan yang telah dibaca dan direnungkan. Sebaliknya, pejabat yang berhenti membaca hanya akan sibuk mengulang kalimat sendiri---tanpa sadar bahwa dunia sudah bergerak jauh dari cara pandangnya.

3. Saat Pengetahuan Diganti Jabatan

Banyak pejabat berhenti membaca bukan karena malas, tetapi karena merasa tidak perlu. Posisi memberi mereka ilusi pengetahuan.
Mereka dikelilingi oleh staf, laporan, dan ringkasan eksekutif---semuanya tampak seperti informasi, tapi sesungguhnya hanya data tanpa jiwa.

Pengetahuan sejati lahir dari pergulatan, dari membaca sesuatu yang tidak nyaman, dari membuka diri terhadap pikiran yang berbeda. Pejabat yang tidak membaca kehilangan otot intelektual untuk menafsir dunia. Ia mungkin tahu cara mengelola anggaran, tapi tak lagi mampu memahami penderitaan. Ia mungkin bisa mengatur sistem, tapi tak lagi bisa merasakan manusia di dalamnya.

Kekuasaan tanpa bacaan membuat keputusan menjadi dangkal. Yang muncul adalah kebijakan yang indah di atas kertas, tapi gagal menyentuh kenyataan. Dan bangsa ini sudah terlalu sering menjadi korban dari keputusan semacam itu.

4. Racun yang Tak Terlihat: Akal Sehat yang Mati Perlahan

Berhenti membaca bukanlah dosa besar yang terjadi tiba-tiba. Ia seperti racun yang bekerja perlahan: menumpulkan nalar, mengeraskan hati, dan menumpuk keangkuhan.

Mula-mula seseorang hanya berhenti membeli buku, lalu berhenti membuka artikel panjang, lalu berhenti membaca sama sekali---kecuali yang berisi pujian terhadap dirinya.
Di titik itu, kerusakan sudah dimulai.

Akal sehat butuh gizi, dan bacaan adalah salah satu yang paling penting. Tanpa bacaan, seseorang akan lebih mudah percaya pada bisikan, lebih cepat marah terhadap kritik, dan lebih malas berpikir jernih. Bacaan bukan sekadar menambah wawasan, tapi menjaga rasionalitas agar tidak tenggelam dalam emosi dan kepentingan.

Mungkin itu sebabnya, pejabat yang berhenti membaca cenderung membuat kebijakan yang impulsif. Ia tidak lagi bertanya "mengapa" sebelum bertindak. Ia hanya bertanya "bagaimana cara terlihat benar."

5. Membaca sebagai Latihan Menjadi Manusia

Setiap kali kita membaca, kita sesungguhnya sedang belajar menjadi manusia yang lebih utuh. Membaca membuka ruang empati, memperluas imajinasi, dan menajamkan kepekaan terhadap penderitaan orang lain.

Buku yang baik tidak hanya memberi tahu, tapi mengguncang. Ia memaksa kita menghadapi diri sendiri: kesalahan, ketakutan, dan kemunafikan. Pejabat yang berani membaca berarti berani bercermin. Ia siap melihat bahwa di balik setiap keputusan, selalu ada wajah-wajah yang akan terdampak.

Membaca juga menunda fanatisme. Orang yang banyak membaca tahu bahwa kebenaran punya banyak sudut, dan bahwa tidak semua yang berbeda harus dilawan. Ia paham bahwa kompleksitas dunia tidak bisa diselesaikan dengan kalimat tunggal.

Dalam konteks publik, pejabat yang membaca lebih cenderung mendengar sebelum bicara, dan berpikir sebelum menilai. Dua hal yang semakin langka dalam politik hari ini.

6. Ketika Buku Menjadi Barang Langka di Ruang Kekuasaan

Ada ironi yang menggelitik: di banyak kantor pemerintahan, ruang tamu pejabat dipenuhi rak buku, tapi buku-buku itu berdiri tegak seperti dekorasi, bukan teman bicara. Sampulnya berdebu, halamannya tetap rapat. Buku di sana bukan sumber pengetahuan, tapi simbol status.

Padahal, buku tidak pernah peduli pada jabatan. Ia hanya berbicara kepada mereka yang mau membuka halaman pertamanya.
Kekuasaan tanpa bacaan hanyalah kebisingan yang percaya diri. Dan kebisingan semacam itu sering kali menular ke bawah, menciptakan budaya birokrasi yang menolak berpikir.

7. Membaca untuk Menyelamatkan Akal Sehat Publik

Membaca bukan urusan pribadi seorang pejabat; ia berdampak pada kualitas kebijakan publik.
Seorang pemimpin yang membaca akan memiliki cakrawala yang luas, mampu menimbang sebelum bertindak, dan sadar bahwa setiap keputusan punya konsekuensi sosial.
Sementara pemimpin yang tidak membaca hanya akan bereaksi terhadap keadaan, bukan mengantisipasi masa depan.

Bacaan memberi jarak dari kekuasaan itu sendiri. Ia menjadi ruang refleksi, tempat seseorang bisa menimbang apakah dirinya masih berpihak pada kepentingan publik, atau hanya mempertahankan citra pribadi. Tanpa bacaan, pejabat kehilangan ruang hening itu---ruang yang menjaga agar nurani tetap hidup.

8. Penutup: Kembali pada Kesadaran

Membaca bukan sekadar aktivitas intelektual, tapi tindakan moral. Ia menuntut waktu, kesabaran, dan kerendahan hati untuk menerima bahwa kita belum tahu segalanya.
Dalam konteks kekuasaan, membaca adalah cara paling sederhana untuk tetap waras di tengah pujian, tetap rendah di tengah sorotan, dan tetap berpikir di tengah hiruk-pikuk politik.

Mungkin, bangsa ini tidak kekurangan pejabat pintar. Tapi kita kekurangan pejabat yang mau membaca dengan sungguh-sungguh.
Karena di balik setiap kebijakan yang gagal, sering tersembunyi satu kebiasaan yang hilang: membaca sebelum memutuskan.

Maka, pertanyaan ini layak diulang---bukan hanya untuk pejabat, tapi untuk siapa pun yang punya kuasa atas hidup orang lain:

Bukankah kamu diperintah untuk membaca?

Sebab saat kita berhenti membaca, kita sedang mematikan akal sehat, menipiskan empati, dan memperkecil kemungkinan untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun