Setiap kali kita membaca, kita sesungguhnya sedang belajar menjadi manusia yang lebih utuh. Membaca membuka ruang empati, memperluas imajinasi, dan menajamkan kepekaan terhadap penderitaan orang lain.
Buku yang baik tidak hanya memberi tahu, tapi mengguncang. Ia memaksa kita menghadapi diri sendiri: kesalahan, ketakutan, dan kemunafikan. Pejabat yang berani membaca berarti berani bercermin. Ia siap melihat bahwa di balik setiap keputusan, selalu ada wajah-wajah yang akan terdampak.
Membaca juga menunda fanatisme. Orang yang banyak membaca tahu bahwa kebenaran punya banyak sudut, dan bahwa tidak semua yang berbeda harus dilawan. Ia paham bahwa kompleksitas dunia tidak bisa diselesaikan dengan kalimat tunggal.
Dalam konteks publik, pejabat yang membaca lebih cenderung mendengar sebelum bicara, dan berpikir sebelum menilai. Dua hal yang semakin langka dalam politik hari ini.
6. Ketika Buku Menjadi Barang Langka di Ruang Kekuasaan
Ada ironi yang menggelitik: di banyak kantor pemerintahan, ruang tamu pejabat dipenuhi rak buku, tapi buku-buku itu berdiri tegak seperti dekorasi, bukan teman bicara. Sampulnya berdebu, halamannya tetap rapat. Buku di sana bukan sumber pengetahuan, tapi simbol status.
Padahal, buku tidak pernah peduli pada jabatan. Ia hanya berbicara kepada mereka yang mau membuka halaman pertamanya.
Kekuasaan tanpa bacaan hanyalah kebisingan yang percaya diri. Dan kebisingan semacam itu sering kali menular ke bawah, menciptakan budaya birokrasi yang menolak berpikir.
7. Membaca untuk Menyelamatkan Akal Sehat Publik
Membaca bukan urusan pribadi seorang pejabat; ia berdampak pada kualitas kebijakan publik.
Seorang pemimpin yang membaca akan memiliki cakrawala yang luas, mampu menimbang sebelum bertindak, dan sadar bahwa setiap keputusan punya konsekuensi sosial.
Sementara pemimpin yang tidak membaca hanya akan bereaksi terhadap keadaan, bukan mengantisipasi masa depan.
Bacaan memberi jarak dari kekuasaan itu sendiri. Ia menjadi ruang refleksi, tempat seseorang bisa menimbang apakah dirinya masih berpihak pada kepentingan publik, atau hanya mempertahankan citra pribadi. Tanpa bacaan, pejabat kehilangan ruang hening itu---ruang yang menjaga agar nurani tetap hidup.
8. Penutup: Kembali pada Kesadaran