Saat berhenti membaca, kita mulai meracuni akal sehat, membunuh kepekaan, dan mengkerdilkan nurani.
Di negeri ini, banyak pejabat yang pandai berbicara tapi jarang membaca. Mereka hafal kalimat, tapi kehilangan konteks. Padahal, membaca bukan sekadar mencari informasi, melainkan menjaga akal sehat agar tidak dikeruhkan oleh kuasa dan pujian. Berhenti membaca berarti berhenti memahami dunia---dan tanpa pemahaman, kekuasaan berubah menjadi ancaman.
Setiap peradaban besar lahir dari satu kebiasaan sederhana: membaca. Tapi hari ini, membaca terasa seperti kemewahan, bahkan untuk mereka yang hidup dari keputusan-keputusan yang mengatur nasib banyak orang. Kita hidup di zaman di mana pejabat lebih rajin membuat pernyataan ketimbang membaca gagasan, lebih sibuk menghafal narasi ketimbang memahami isi. Padahal, dalam setiap jeda membaca, ada kemungkinan untuk menjadi lebih bijak. Dan di situ pula tersimpan cara paling sederhana untuk tidak menjadi berbahaya: dengan terus belajar.
"Bukankah kamu diperintah untuk membaca?"
Kalimat ini bukan soal agama, tapi soal kesadaran eksistensial: manusia yang berhenti membaca sedang menolak untuk berkembang. Membaca adalah cara paling jujur untuk meragukan diri sendiri. Siapa yang tak membaca, berhenti tumbuh. Siapa yang berhenti tumbuh, akan segera layu---meski tetap duduk di kursi kekuasaan.
1. Sebuah Perintah yang Diabaikan
Bagi banyak orang yang memegang jabatan, kekuasaan sering kali menjadi akhir dari pencarian pengetahuan. Setelah gelar, posisi, dan akses tercapai, membaca dianggap tidak lagi perlu. Padahal, di titik itulah membaca seharusnya menjadi kebutuhan yang paling mendesak.
Kekuasaan tanpa bacaan adalah ruang gema: suara sendiri terdengar paling benar karena tak ada referensi lain. Di sinilah banyak pejabat tersesat dalam keyakinan bahwa pengalaman cukup untuk menggantikan pengetahuan. Padahal, pengalaman tanpa refleksi hanyalah pengulangan.
Membaca bukan sekadar aktivitas literer, melainkan latihan kerendahan hati. Dalam setiap halaman buku, seseorang diingatkan bahwa selalu ada orang lain yang berpikir lebih dalam, melihat lebih jauh, dan merasakan lebih tajam. Itu sebabnya, orang yang rajin membaca jarang merasa paling benar. Sebaliknya, pejabat yang berhenti membaca mudah merasa paling tahu.
2. Membaca sebagai Tindakan Melawan Kejumudan
Membaca adalah bentuk perlawanan terhadap kemapanan berpikir. Setiap buku, setiap gagasan baru, mengajak kita untuk menggugat hal-hal yang selama ini kita anggap pasti.
Di ruang birokrasi yang kaku dan penuh protokol, buku sering kali menjadi benda asing. Diskusi dianggap buang waktu, pemikiran kritis dianggap gangguan, dan keinginan belajar dianggap kelemahan. Padahal, stagnasi justru tumbuh subur di tempat di mana tidak ada yang berani membaca hal baru.