Di tengah meningkatnya krisis kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan, istilah DPR Hedonis makin sering bergema. Sorotan tajam tertuju pada gaya hidup mewah sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dianggap jauh dari realitas rakyat.
Mobil-mobil mewah, pesta glamor, traveling ke luar negeri, hingga perilaku pamer harta di media sosial telah menjadi simbol keterputusan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.
Namun, perdebatan tidak boleh berhenti pada individu-individu yang gemar tampil mewah. Lebih jauh, publik seharusnya menuntut pertanggungjawaban partai politik sebagai lembaga yang melahirkan, mengasuh, dan mendistribusikan kadernya ke kursi parlemen.
Jika DPR hari ini dipenuhi wajah-wajah hedonis, maka itu cerminan dari proses kaderisasi dan rekrutmen politik yang cacat.
Akar Masalah: Politik Biaya Tinggi dan Kaderisasi Semu
Fenomena DPR Hedonis tidak lahir dalam ruang kosong. Sistem politik kita, sejak lama, telah membentuk kondisi yang mendorong gaya hidup elitis.
Pertama, politik biaya tinggi. Untuk bisa duduk di Senayan, seorang calon legislatif kerap harus mengeluarkan dana miliaran rupiah. Biaya itu tersedot untuk iklan, baliho, “serangan fajar”, logistik kampanye, hingga “ongkos” politik lain yang tidak tercatat.
Partai politik jarang benar-benar membiayai kader, melainkan menyerahkan tanggung jawab finansial pada individu caleg. Akibatnya, yang bisa melaju ke DPR sering kali hanya mereka yang punya modal besar.
Begitu duduk di kursi empuk parlemen, muncul dorongan untuk “balik modal” atau mempertahankan status sosial yang sesuai dengan pengeluaran kampanye sebelumnya.
Kedua, kaderisasi semu. Partai politik semestinya menjadi sekolah demokrasi, tempat mencetak pemimpin yang mengakar ke rakyat. Namun realitasnya, banyak partai hanya menjadikan kaderisasi sebagai formalitas.