Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menanti Tanggung Jawab Partai Politik yang Telah Mencetak DPR Hedonis

31 Agustus 2025   10:00 Diperbarui: 1 September 2025   13:40 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Video Joget Viral, Eko Patrio Tanggapi Kritik dengan Video Parodi. (Tangkapan layar dari TikTok Eko Patrio via kompas.cm)

Di tengah meningkatnya krisis kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan, istilah DPR Hedonis makin sering bergema. Sorotan tajam tertuju pada gaya hidup mewah sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dianggap jauh dari realitas rakyat. 

Mobil-mobil mewah, pesta glamor, traveling ke luar negeri, hingga perilaku pamer harta di media sosial telah menjadi simbol keterputusan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.

Namun, perdebatan tidak boleh berhenti pada individu-individu yang gemar tampil mewah. Lebih jauh, publik seharusnya menuntut pertanggungjawaban partai politik sebagai lembaga yang melahirkan, mengasuh, dan mendistribusikan kadernya ke kursi parlemen. 

Jika DPR hari ini dipenuhi wajah-wajah hedonis, maka itu cerminan dari proses kaderisasi dan rekrutmen politik yang cacat.

Akar Masalah: Politik Biaya Tinggi dan Kaderisasi Semu

Fenomena DPR Hedonis tidak lahir dalam ruang kosong. Sistem politik kita, sejak lama, telah membentuk kondisi yang mendorong gaya hidup elitis.

Pertama, politik biaya tinggi. Untuk bisa duduk di Senayan, seorang calon legislatif kerap harus mengeluarkan dana miliaran rupiah. Biaya itu tersedot untuk iklan, baliho, “serangan fajar”, logistik kampanye, hingga “ongkos” politik lain yang tidak tercatat. 

Partai politik jarang benar-benar membiayai kader, melainkan menyerahkan tanggung jawab finansial pada individu caleg. Akibatnya, yang bisa melaju ke DPR sering kali hanya mereka yang punya modal besar. 

Begitu duduk di kursi empuk parlemen, muncul dorongan untuk “balik modal” atau mempertahankan status sosial yang sesuai dengan pengeluaran kampanye sebelumnya.

Kedua, kaderisasi semu. Partai politik semestinya menjadi sekolah demokrasi, tempat mencetak pemimpin yang mengakar ke rakyat. Namun realitasnya, banyak partai hanya menjadikan kaderisasi sebagai formalitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun