Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Revolusi Belajar Ala Kon Fu Tse...Ciaaaat!

25 Agustus 2025   18:30 Diperbarui: 26 Agustus 2025   13:14 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"I hear, I forget; I see, I remember; I do, I understand." Kutipan bijak dari Confucius, atau Kon Fu Tse, ini bukan sekadar kata-kata indah yang terdengar filosofis. Lebih dari itu, ia menyimpan pesan mendasar tentang cara manusia belajar. Dalam konteks pendidikan modern, prinsip ini tetap relevan dan menjadi fondasi penting bagi pengembangan metode belajar yang efektif. Pendidikan bukan sekadar menyalurkan informasi dari guru ke murid, tetapi tentang membimbing siswa agar memahami, menginternalisasi, dan mampu menerapkan ilmu yang dipelajari dalam kehidupan nyata.

Sering kali, proses belajar di sekolah masih berpusat pada mendengar. Guru menjelaskan materi di depan kelas, siswa mendengarkan, mencatat, dan mencoba menghafal. Sayangnya, metode ini memiliki kelemahan besar. Mendengar saja tidak cukup untuk membuat informasi menempel di memori jangka panjang. Banyak siswa yang mampu mengulang definisi dan teori yang diajarkan di kelas, tetapi ketika diminta menerapkannya dalam situasi nyata, mereka gagal. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang hanya diterima secara pasif cenderung cepat hilang. Mendengar adalah tahap pertama, namun jika tidak disertai pengalaman atau visualisasi, pemahaman tetap dangkal.

Tahap berikutnya adalah melihat, yang menurut Confucius dapat membantu seseorang untuk mengingat. Penglihatan merupakan indera yang kuat dalam pembelajaran. Manusia lebih mudah mengingat informasi yang bisa mereka lihat dan rasakan secara konkret. Diagram, video, ilustrasi, dan simulasi memberikan pengalaman belajar yang lebih nyata. Dalam pelajaran sains, misalnya, menonton eksperimen kimia atau fisika membantu siswa memahami konsep yang sebelumnya tampak abstrak dalam buku teks. Visualisasi membuat pengetahuan lebih mudah diingat, tetapi meskipun membantu memori, hal ini belum tentu menghasilkan pemahaman mendalam. Siswa mungkin mengingat apa yang mereka lihat, tetapi belum tentu mengerti bagaimana dan mengapa hal itu terjadi.

Di sinilah tahap melakukan menjadi sangat penting. “I do, I understand” menekankan pentingnya belajar melalui praktik atau pengalaman langsung. Ketika siswa melakukan sesuatu sendiri, mereka tidak hanya mengingat informasi, tetapi juga memahami konsep dan cara menerapkannya. Learning by doing, atau belajar sambil melakukan, telah terbukti meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah. Contohnya, dalam pelajaran matematika, mengerjakan soal atau proyek secara langsung membantu siswa memahami prinsip-prinsip matematika dengan lebih baik dibandingkan hanya mendengar teori. Begitu pula dalam pelajaran seni atau teknologi, praktik langsung memungkinkan siswa untuk mengekspresikan diri, menemukan kesalahan, dan belajar dari pengalaman tersebut.

Implementasi prinsip Confucius ini memiliki relevansi yang sangat kuat di abad 21. Dunia saat ini menuntut generasi muda yang tidak hanya mampu mengingat fakta, tetapi juga memahami, berpikir kritis, dan mampu menyelesaikan masalah kompleks. Pendidikan yang efektif harus menekankan pengalaman belajar yang aktif dan interaktif. Sekolah dan guru ditantang untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung eksplorasi, eksperimen, dan kolaborasi. Di tingkat sekolah dasar, misalnya, guru dapat memanfaatkan permainan edukatif dan proyek sederhana untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan pemahaman konsep dasar. Di tingkat menengah, siswa dapat dilibatkan dalam proyek berbasis masalah atau eksperimen ilmiah yang menuntut mereka berpikir kreatif. Di tingkat perguruan tinggi, mahasiswa didorong untuk melakukan penelitian, magang, dan proyek lapangan yang menuntut mereka menerapkan teori dalam konteks nyata.

Selain itu, teknologi menjadi alat yang sangat berguna untuk mendukung prinsip ini. Simulasi digital, video interaktif, dan aplikasi edukatif memungkinkan siswa mengalami pembelajaran yang lebih nyata tanpa batasan ruang dan waktu. Misalnya, siswa dapat mengamati simulasi reaksi kimia secara virtual, melakukan eksperimen sains digital, atau menggunakan perangkat lunak untuk merancang proyek teknik. Teknologi tidak hanya membantu visualisasi, tetapi juga memungkinkan siswa melakukan sesuatu secara praktis dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.

Prinsip Confucius juga mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekadar tentang pengetahuan akademik, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Ketika siswa terlibat aktif dalam proses belajar, mereka belajar tentang tanggung jawab, ketekunan, dan kemampuan bekerja sama. Proses melakukan, mencoba, dan kadang gagal menjadi bagian dari pembelajaran yang sesungguhnya. Kesalahan bukan dianggap sebagai kegagalan, tetapi sebagai kesempatan untuk memahami lebih dalam. Dengan demikian, belajar melalui praktik membantu siswa membangun keterampilan hidup yang tidak diajarkan secara langsung dalam buku teks.

Kutipan ini mengingatkan kita bahwa metode pembelajaran yang hanya menekankan mendengar dan melihat tidak cukup untuk menghasilkan pemahaman sejati. Siswa yang hanya mendengar teori tanpa praktik mungkin mampu mengulang kata-kata, tetapi tidak mampu menerapkan pengetahuan tersebut dalam situasi nyata. Siswa yang melihat demonstrasi atau visualisasi lebih mudah mengingat, tetapi pemahaman mereka tetap terbatas jika tidak terlibat aktif. Siswa yang melakukan sendiri akan benar-benar memahami, menginternalisasi, dan mampu menerapkan ilmu tersebut dengan percaya diri.

Pendidikan masa depan harus dirancang untuk memastikan bahwa setiap siswa tidak hanya tahu “apa”, tetapi juga memahami “mengapa” dan “bagaimana”. Guru bukan lagi hanya pemberi informasi, tetapi fasilitator pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk bereksperimen, bertanya, dan menemukan jawaban sendiri. Sekolah harus menjadi ruang di mana siswa didorong untuk belajar secara aktif, kreatif, dan kolaboratif. Hanya dengan cara ini, pendidikan dapat membekali generasi muda dengan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kesiapan menghadapi tantangan kehidupan nyata.

Kutipan Confucius mungkin telah lahir ribuan tahun yang lalu, tetapi relevansinya tidak lekang oleh waktu. Ia mengajarkan kita bahwa belajar adalah proses aktif yang melibatkan indera, pengalaman, dan refleksi. Mendengar saja membuat kita lupa, melihat membantu kita mengingat, dan melakukan memastikan kita benar-benar memahami. Prinsip ini harus menjadi pedoman bagi setiap pendidik dan siswa agar pendidikan tidak hanya menjadi rutinitas akademik, tetapi pengalaman hidup yang membentuk pemahaman sejati dan keterampilan yang dapat diterapkan di dunia nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun