"Kamu pantas mendapatkan semua keindahan dunia ini, Elara. Dan aku berjanji akan memberikannya padamu."
Namun di balik romansa yang tampak sempurna itu, pelan-pelan kegelisahan mulai merayap. Liam mulai menghabiskan lebih banyak waktu di studionya, tenggelam dalam pekerjaannya. Ia pulang larut malam, bajunya berlumur cat, matanya jauh dan pikiran melayang.
Percakapan mereka, yang dulunya penuh tawa dan keintiman, kini berubah menjadi pertukaran basa-basi tentang hari masing-masing.
Suatu Selasa, Elara pulang lebih awal, berniat memberi kejutan dengan memasakkan makan malam. Apartemen mereka sepi, udara terasa tebal oleh ketegangan yang tak dikenal.
Saat menyusuri ruang tamu, matanya menangkap selembar kertas terlipat kecil di bawah tumpukan alat lukis. Rasa penasaran—musuh utama kedamaian—menggoda dirinya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil dan membuka kertas itu.
Tulisan tangan itu jelas milik Liam.
Jantung Elara berdegup kencang saat membaca baris pertama:
"Camille tersayang..."
Dunia seperti berputar. Kata-kata berikutnya mengabur di matanya, berubah menjadi bayangan tak bermakna. Dingin merayap ke tulangnya, pertanda bahwa badai akan segera pecah.
Ia menjatuhkan surat itu, seolah membakarnya, dan benang tipis kebahagiaannya mulai terurai dengan kecepatan yang menakutkan.
Nama "Camille" bergema di benaknya, nada sumbang dalam simfoni cintanya. Ia membaca ulang surat itu: