Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Layar yang Selalu Menyala

7 Agustus 2025   12:00 Diperbarui: 7 Agustus 2025   21:50 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah kafe yang teduh, kami duduk melingkar di meja kayu panjang.
 Ada Ibu, kakakku, adik, dan dua keponakan yang sibuk dengan obrolan masing-masing.
 Topik pertemuan sebenarnya sederhana: rencana liburan keluarga.
 Tapi suara-suara bersahutan, saling potong, saling tanya, lalu kembali sibuk membuka layar masing-masing.

“Ada villa yang ini juga, coba lihat deh,” kata kakakku sambil menunjukkan ponselnya.
 Adikku mengangguk cepat, lalu kembali men-scroll.
 Keponakan-keponakanku sibuk memotret makanan yang belum disentuh, Ibu membuka galeri foto, mencoba mencari lokasi yang katanya pernah kami kunjungi dulu.

Dan aku?

Aku duduk di ujung meja.
 Sendirian, tapi tidak sendiri.
 Layar ponselku menyala. Jari-jariku sibuk mengetik pesan yang tidak penting, membuka satu aplikasi ke aplikasi lain tanpa tujuan.
 Bukan karena ada yang penting untuk dilihat. Tapi... karena entah kenapa, lebih nyaman menatap layar ketimbang menatap wajah-wajah di depanku.

Di sekitarku, dunia terus bergerak. Tapi aku diam di balik cahaya biru.

Sampai sebuah suara menyadarkan saya,

“Kau bisa taruh ponselmu sebentar nggak?”
 Suara itu datang dari seberang meja. Lembut, tapi tidak bisa kuabaikan.

Aku mendongak.
 “Eh, iya, maaf,” jawabku sambil buru-buru menutup layar dan membalik ponsel.
 “Cuma mau lihat jadwal meeting besok.”

Dia mengangguk pelan, lalu kembali menyeruput kopinya.
 Tapi aku tahu, sesuatu sudah terlewat. Percakapan yang tadi mengalir hangat, kini berubah hampa.
 Seperti ada tembok kaca yang tiba-tiba berdiri di antara kami—bening, tapi terasa tebal.

Sepulangnya, aku duduk sendiri di kamar. Lampu remang. Ponsel tergeletak di meja.
 Aku menatapnya lama, seolah baru sadar betapa benda kecil itu telah mencuri begitu banyak hal dariku.

Dulu, sebelum semuanya jadi serba digital,
 aku ingat masih sering menulis di buku catatan, menatap wajah orang saat bicara,
 bahkan menikmati waktu tunggu—seperti menunggu air mendidih atau hujan reda—tanpa perlu sibuk mencari hiburan instan.

Tapi sekarang, begitu ada jeda sedikit saja, tanganku otomatis merogoh saku.
 Scroll. Like. Chat.
 Lalu ulangi. Seakan ada rasa bersalah kalau membiarkan waktu kosong begitu saja.

Dan yang paling melelahkan: grup WhatsApp.

Grup keluarga, grup kantor, grup alumni, grup komplek, grup tetangga, grup yang entah siapa yang buat dan tak bisa ku keluar tanpa menimbulkan drama.
 Setiap saat ada notifikasi. Kadang lucu, kadang informasi penting, tapi lebih sering... tidak perlu.
 Dan yang paling membuat lelah: perdebatan.

“Bro, lo percaya berita itu? Itu hoaks kali!”
 “Lah, gue cuma share aja, terserah lo mau percaya atau enggak.”
 “Makanya jangan sotoy, baca lengkap dulu!”

Pernah suatu malam, aku terbangun karena ponselku berbunyi terus.
 Isinya perdebatan panjang soal politik yang bahkan tak kusadari telah dimulai.
 Tapi entah kenapa, aku terpancing juga.
 Jari-jariku mengetik cepat, membalas dengan nada tinggi.
 Jam menunjukkan pukul dua pagi. Dan aku marah pada orang yang bahkan tak kukenal dekat.

Paginya, aku bangun dengan kepala berat.
 Bukan karena kurang tidur, tapi karena rasa sesal yang pelan-pelan mengikis.

“Ini bukan aku,” gumamku. “Ini bukan hidup yang ingin kujalani.”

Aku teringat momen makan malam bersama keluarga beberapa bulan lalu.
 Waktu itu Bapak tiba-tiba berkata:

“Kalau semua sibuk dengan layar, untuk apa kita duduk di meja yang sama?”

Tidak ada yang menjawab. Kami hanya saling melirik sebentar, lalu perlahan meletakkan ponsel masing-masing.
 Sunyi. Tapi jujur.
 Dan anehnya, setelah itu kami justru benar-benar bicara. Tentang hal-hal kecil, remeh, lucu. Tapi hangat.

Kini, malam ini, aku menyadari bahwa teknologi bukan musuh.
 Tapi ia juga bukan sahabat sejati.
 Ia hanya alat—sejauh mana kita memilih untuk memakainya, atau diperbudaknya.

Aku mengingat satu sore ketika aku tersesat di kota kecil yang belum pernah kukunjungi.
 Waktu itu baterai ponselku habis.
 Tidak ada GPS, tidak ada Google Maps.
 Hanya aku, jalanan asing, dan orang-orang lokal.

Aku bertanya arah pada seorang penjual bunga. Dia tidak hanya menjelaskan, tapi juga tersenyum dan mengajakku mampir.
 Kami duduk di bangku kecil di depan tokonya, minum teh panas sambil ngobrol.
 Hal yang rasanya tak mungkin terjadi jika aku tinggal mengandalkan teknologi.

Malam ini aku menatap layar ponsel yang menyala diam di meja.
 Tidak ada notifikasi penting. Hanya bias cahaya biru yang membanjiri ruangan.
 Aku mengambilnya, mematikan layarnya, dan membaliknya.
 Lalu berdiri dan keluar ke teras.

Udara malam menyentuh wajahku. Dingin.
 Sunyi.
 Dan aku merasa hidup kembali punya ruang.

Kupikir, mungkin bukan teknologi yang salah.
 Tapi caraku terlalu menggantungkan diri padanya.
 Seakan aku tak mampu hidup tanpa tahu semuanya, sekarang juga.

Padahal, tidak apa-apa kalau tidak membalas pesan segera.
 Tidak apa-apa kalau tidak tahu kabar terkini.
 Yang lebih penting, aku tidak ingin kehilangan diriku sendiri di balik layar.

Esok pagi, aku akan bangun, membuat teh, dan sebelum menyentuh ponselku,
 aku akan menatap keluar jendela.
 Karena mungkin, di sanalah hidup yang sebenarnya masih menunggu—diam-diam, tanpa notifikasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun