Kini, malam ini, aku menyadari bahwa teknologi bukan musuh.
 Tapi ia juga bukan sahabat sejati.
 Ia hanya alat—sejauh mana kita memilih untuk memakainya, atau diperbudaknya.
Aku mengingat satu sore ketika aku tersesat di kota kecil yang belum pernah kukunjungi.
 Waktu itu baterai ponselku habis.
 Tidak ada GPS, tidak ada Google Maps.
 Hanya aku, jalanan asing, dan orang-orang lokal.
Aku bertanya arah pada seorang penjual bunga. Dia tidak hanya menjelaskan, tapi juga tersenyum dan mengajakku mampir.
 Kami duduk di bangku kecil di depan tokonya, minum teh panas sambil ngobrol.
 Hal yang rasanya tak mungkin terjadi jika aku tinggal mengandalkan teknologi.
Malam ini aku menatap layar ponsel yang menyala diam di meja.
 Tidak ada notifikasi penting. Hanya bias cahaya biru yang membanjiri ruangan.
 Aku mengambilnya, mematikan layarnya, dan membaliknya.
 Lalu berdiri dan keluar ke teras.
Udara malam menyentuh wajahku. Dingin.
 Sunyi.
 Dan aku merasa hidup kembali punya ruang.
Kupikir, mungkin bukan teknologi yang salah.
 Tapi caraku terlalu menggantungkan diri padanya.
 Seakan aku tak mampu hidup tanpa tahu semuanya, sekarang juga.
Padahal, tidak apa-apa kalau tidak membalas pesan segera.
 Tidak apa-apa kalau tidak tahu kabar terkini.
 Yang lebih penting, aku tidak ingin kehilangan diriku sendiri di balik layar.
Esok pagi, aku akan bangun, membuat teh, dan sebelum menyentuh ponselku,
 aku akan menatap keluar jendela.
 Karena mungkin, di sanalah hidup yang sebenarnya masih menunggu—diam-diam, tanpa notifikasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI