Dulu, sebelum semuanya jadi serba digital,
aku ingat masih sering menulis di buku catatan, menatap wajah orang saat bicara,
bahkan menikmati waktu tunggu—seperti menunggu air mendidih atau hujan reda—tanpa perlu sibuk mencari hiburan instan.
Tapi sekarang, begitu ada jeda sedikit saja, tanganku otomatis merogoh saku.
Scroll. Like. Chat.
Lalu ulangi. Seakan ada rasa bersalah kalau membiarkan waktu kosong begitu saja.
Dan yang paling melelahkan: grup WhatsApp.
Grup keluarga, grup kantor, grup alumni, grup komplek, grup tetangga, grup yang entah siapa yang buat dan tak bisa ku keluar tanpa menimbulkan drama.
Setiap saat ada notifikasi. Kadang lucu, kadang informasi penting, tapi lebih sering... tidak perlu.
Dan yang paling membuat lelah: perdebatan.
“Bro, lo percaya berita itu? Itu hoaks kali!”
“Lah, gue cuma share aja, terserah lo mau percaya atau enggak.”
“Makanya jangan sotoy, baca lengkap dulu!”
Pernah suatu malam, aku terbangun karena ponselku berbunyi terus.
Isinya perdebatan panjang soal politik yang bahkan tak kusadari telah dimulai.
Tapi entah kenapa, aku terpancing juga.
Jari-jariku mengetik cepat, membalas dengan nada tinggi.
Jam menunjukkan pukul dua pagi. Dan aku marah pada orang yang bahkan tak kukenal dekat.
Paginya, aku bangun dengan kepala berat.
Bukan karena kurang tidur, tapi karena rasa sesal yang pelan-pelan mengikis.
“Ini bukan aku,” gumamku. “Ini bukan hidup yang ingin kujalani.”
Aku teringat momen makan malam bersama keluarga beberapa bulan lalu.
Waktu itu Bapak tiba-tiba berkata:
“Kalau semua sibuk dengan layar, untuk apa kita duduk di meja yang sama?”
Tidak ada yang menjawab. Kami hanya saling melirik sebentar, lalu perlahan meletakkan ponsel masing-masing.
Sunyi. Tapi jujur.
Dan anehnya, setelah itu kami justru benar-benar bicara. Tentang hal-hal kecil, remeh, lucu. Tapi hangat.