Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menabur Cinta Menuai Badai - Kisah Si Tukang Servis Kipas Angin

30 Juli 2025   09:00 Diperbarui: 30 Juli 2025   07:47 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Service panggilan- Kreasi AI

Di desa Ciinangka, Parman dikenal sebagai tukang servis kipas angin keliling. Tapi jasa tambahannya yang paling banyak dicari --- dan diam-diam ditunggu --- bukan teknis, tapi romantis: puisi cinta dan juga selipan mawar merah yang dia petik dari pagar rumahnya

Parman bukan penyair sejati. Ia hanya percaya bahwa setiap wanita suka bunga dan butuh kata-kata manis, sayangnya dia berikan pada tempat dan waktu yang salah.

Awalnya, tak ada yang mencurigai. Parman hanya dianggap nyentrik.
Datang ke rumah Bu Narti, servis kipas, lalu memberi bait:

"Di cangkir ini kau suguhkan rindu,
aromanya lebih dari kopi, lebih dari waktu."

Bu Narti tersenyum-senyum sendiri di dapur. Tapi Pak Narto mencatat itu di hatinya, yang membara terbakar cemburu.

Lalu Juwita, si penjual nasi goreng, mulai salah masukin garam karena Parman bersenandung di warung:

"Minyak panas di nasi goreng,

Kau bolak-balik penuh aroma
tapi hatiku yang justru terbakar

Oleh rasa yang menyebar."

Tak sampai seminggu, desas-desus menyebar: "Parman itu bukan sekadar tukang kipas, tapi tukang tebar benih. Kerjaannya merayu wanita, perawan, janda atau istri orang semua dihajar"

Puncaknya terjadi saat Parman datang ke rumah Pak Lurah, lalu melontarkan puisi maut di hadapan istri Pak Lurah:

"Jika cinta bisa ditimbang,
saya tak perlu timbangan... karena perasaan ini tak bisa dikira-kira."

Pak Lurah mendengar semua itu dari balik pintu kamar mandi. Ia keluar dengan handuk masih melilit, mata menyala.

"Kurang ajar! Ini bukan servis kipas, ini servis hati istri orang!"

Kabar menyebar secepat listrik yang korslet.

Malam itu, Cinangka geger.

Di balai desa, suasana seperti pasar malam tanpa musik dangdut. Para istri berkerumun di halaman, sebagian menjerit-jerit:

"Aku duluan yang dikasih puisi!"

"Tapi aku yang disuruh menyimpan bait rahasia!"

"Anak saya juga dikasih pantun, Mas!"

Sementara para suami, dengan emosi terkarbit, menyeret Parman ke aula desa.
Baju Parman robek, rambutnya berantakan. Tapi ia tetap tenang --- bahkan sempat berpantun:

"Kalau cinta bikin luka,
mengapa masih banyak yang minta?"

DOR!
Sebuah sandal jepit melayang kena keningnya. Merah merona membentuk tapak sandal swallow.

Pak Lurah berdiri di tengah aula.
"Parman, kau dituduh menyebabkan kekacauan emosional, rumah tangga gonjang-ganjing, dan janda makin terang-terangan nyisir malam hari!"

Parman tertunduk.
"Saya hanya menabur cinta, Pak Lurah. Mungkin cara saya salah. Tapi saya pikir, di desa ini... terlalu banyak kipas mati dan hati dingin."

Suasana hening. Lalu, dari kerumunan ibu-ibu terdengar tangis tertahan.
"Mas Parman itu satu-satunya yang bisa bilang aku cantik meski pakai daster bolong."

Tangis pecah. Suami-suami makin merah kupingnya.

Pak RT mengetuk meja pakai centong:

"Kami putuskan: Parman dilarang menulis puisi dalam bentuk apa pun! Ia hanya boleh servis kipas, dan itu pun maksimal dua rumah per hari!"

Tapi tiba-tiba, Juwita berdiri:
"Kalau Mas Parman dilarang bikin puisi, siapa yang akan membuat kami merasa hidup?"

Bu Narti menyusul:
"Suamiku tak pernah bilang aku secantik kopi tubruk..."

Seorang janda bahkan menyerobot ke depan:
"Saya rela menikah dengan Parman sekarang juga!"

Kericuhan tak terhindarkan. Para lelaki maju ke depan, Parman panik. Ia mundur perlahan, lalu berlari sekuat tenaga ke luar aula --- disusul sandal, cangkul, dan botol kecap. Parman lari meloloskan diri, lari sekencan-kencangnya bagai wet escape bandit

Akhirnya Parman kini tinggal di pinggir hutan, di rumah kecil beratap daun kelapa.
Ia hidup damai, menanam kangkung dan menulis puisi di batu --- jauh dari keramaian. Tapi setiap malam Jumat, satu-dua ibu-ibu masih terlihat membawa kipas rusak... dan amplop kecil berisi sajak cinta yang minta dibalas.

Parman tersenyum.
Badai telah berlalu. Tapi cinta, seperti angin dari kipas yang baru diservis, tetap berputar --- diam-diam, menyusup ke celah yang retak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun