"Kalau cinta bikin luka,
mengapa masih banyak yang minta?"
DOR!
Sebuah sandal jepit melayang kena keningnya. Merah merona membentuk tapak sandal swallow.
Pak Lurah berdiri di tengah aula.
"Parman, kau dituduh menyebabkan kekacauan emosional, rumah tangga gonjang-ganjing, dan janda makin terang-terangan nyisir malam hari!"
Parman tertunduk.
"Saya hanya menabur cinta, Pak Lurah. Mungkin cara saya salah. Tapi saya pikir, di desa ini... terlalu banyak kipas mati dan hati dingin."
Suasana hening. Lalu, dari kerumunan ibu-ibu terdengar tangis tertahan.
"Mas Parman itu satu-satunya yang bisa bilang aku cantik meski pakai daster bolong."
Tangis pecah. Suami-suami makin merah kupingnya.
Pak RT mengetuk meja pakai centong:
"Kami putuskan: Parman dilarang menulis puisi dalam bentuk apa pun! Ia hanya boleh servis kipas, dan itu pun maksimal dua rumah per hari!"
Tapi tiba-tiba, Juwita berdiri:
"Kalau Mas Parman dilarang bikin puisi, siapa yang akan membuat kami merasa hidup?"
Bu Narti menyusul:
"Suamiku tak pernah bilang aku secantik kopi tubruk..."
Seorang janda bahkan menyerobot ke depan:
"Saya rela menikah dengan Parman sekarang juga!"