Kericuhan tak terhindarkan. Para lelaki maju ke depan, Parman panik. Ia mundur perlahan, lalu berlari sekuat tenaga ke luar aula --- disusul sandal, cangkul, dan botol kecap. Parman lari meloloskan diri, lari sekencan-kencangnya bagai wet escape bandit
Akhirnya Parman kini tinggal di pinggir hutan, di rumah kecil beratap daun kelapa.
Ia hidup damai, menanam kangkung dan menulis puisi di batu --- jauh dari keramaian. Tapi setiap malam Jumat, satu-dua ibu-ibu masih terlihat membawa kipas rusak... dan amplop kecil berisi sajak cinta yang minta dibalas.
Parman tersenyum.
Badai telah berlalu. Tapi cinta, seperti angin dari kipas yang baru diservis, tetap berputar --- diam-diam, menyusup ke celah yang retak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI