Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023) | Antologi Dedikasi dan Cinta Sejati (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menakar Efektivitas Pendidikan Barak Militer ala Dedi Mulyadi

13 Mei 2025   13:21 Diperbarui: 14 Mei 2025   09:31 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi gubernur Dedi Mulyadi | Sumber : Olahan pribadi

Guru dan orangtua yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendidik dan membina anak, seringkali merasa tidak berdaya menghadapi perilaku agresif dan destruktif dari segelintir anak remaja. Lebih parah ada kasus di mana guru dan orang tua justru menjadi korban kekerasan fisik maupun verbal oleh anak didik atau anak kandung mereka sendiri.

Ironi semakin terasa ketika guru yang berusaha menerapkan disiplin atau memberikan sanksi edukatif justru berhadapan dengan ancaman tuntutan hukum yang dilaporkan oleh orangtua siswa, dengan dalih kekerasan atau pelanggaran hak anak. Hal ini tentu saja membuat para pendidik menjadi ragu dan khawatir dalam menjalankan tugasnya, bahkan terkesan "takut" untuk mendisiplinkan secara tegas.

Lalu jika persoalan kenakalan siswa sudah semakin serius semacam itu dimana cara-cara konvensional sudah tidak mempan lagi untuk mendisiplinkan perilaku anak didik, rasanya apa yang digagas oleh Dedi Mulyadi perlu kita beri ruang aktualisasi. Untuk kemudian dikaji sejauh mana tingkat keberhasilan dan efektivitasnya. Dan dievaluasi di kemudian hari jika terdapat kurang dan lebihnya.

Diperlukan Aksi Nyata Daripada Sekedar Kata

Salah satu budaya yang menjadi persoalan dalam sistem birokrasi negara kita adalah begitu banyak kajian teoritis tetapi sangat minim aksi dan konsistensi dalam realita penerapannya. 

Pelatihan, diskusi, serta kajian-kajian hampir dilaksanakan setiap saat di berbagai lembaga namun kerap menemui jalan buntu pada tataran implementasi di lapangan. Termasuk persoalan pembentukan karakter siswa-siswa kita dewasa ini. Tidak kurang kajian dan diskusi tentang persoalan karakter ini serta pendekatan dan metode implementasinya di sekolah. Hasilnya masih menjadi tanda tanya besar.

Apalagi jika dihadapkan pada persoalan anak "berkarakter khusus" seperti yang tengah digembleng di barak militer ala Dedi Mulyadi. Orangtua dan sekolah sudah pasti kewalahan. Karena sudah begitu terkontaminasi dengan perilaku negatif bahkan cenderung ke arah kriminal. Apakah metode Segitiga Restitusi yang dulu kerap digembar-gemborkan saat Pendidikan Guru Penggerak (PGP) juga efektif menangani anak berperilaku khusus tersebut? Saya jujur menyangsikannya.

Segitiga Restitusi hanya akan berhasil jika si anak menyadari dengan sepenuh hati akan kesalahannya sehingga ia insyaf dan pada akhirnya sadar diri untuk tidak mengulangi "kenakalannya" di kemudian hari. Dan apakah membuat anak mengerti serta insyaf akan kesalahannya itu suatu perkara mudah? Dengan begitu kompleksnya masalah bahkan belakang keluarga dan lingkungan sosial anak yang juga tidak kalah rumitnya? Ini menjadi sebuah pertanyaan besar.

Memang kebijakan pendidikan barak militer ala Dedi Mulyadi agaknya menjadi sesuatu yang tidak lazim dalam khazanah pendidikan kita. Tetapi harap diingat anak-anak yang dididik dalam barak militer juga memiliki perilaku kekhususan yang tidak lazim dengan anak seusianya. Guru serta orangtua secara suka rela mengizinkan mereka untuk dididik di sana. 

Kalau metode lain semacam Segitiga Restitusi berhasil menangani anak-anak dengan perilaku khusus semacam itu, maka tidak akan lahir kebijakan pendidikan barak militer ala Dedi Mulyadi. Semua bisa diselesaikan dan dibina di sekolah. Tidak perlu sampai dibina di markas militer.

Saya menjadi sependapat dengan statemen Dedi Mulyadi. Bahwa daripada beradu wacana dan berdebat tanpa ujung, lebih baik mari bersama untuk mendidik anak-anak berperilaku khusus tersebut dengan metodenya masing-masing sehingga nanti bisa dilihat dan dievaluasi metode mana yang paling tepat dan berhasil. Toh, tujuannya sama-sama untuk kebaikan, membentuk karakter anak menjadi disiplin dan berakhlak mulia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun