Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023) | Antologi Dedikasi dan Cinta Sejati (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Memikirkan Kembali Urgensi Pendirian Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda

30 Maret 2025   22:24 Diperbarui: 2 April 2025   00:59 1418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda | Sumber : Olahan Pribadi

Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda mau dibangun? Padahal pekerjaan rumah (PR) pendidikan masih menggunung! Begitu tulis salah seorang teman dalam akun sosial medianya. 

Betul bahwa pemerintahan presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Sosial dan Kementerian Pendidikan Tinggi akan segera membangun Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda. Keduanya memiliki tujuan yang berbeda namun saling melengkapi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Sekolah Rakyat adalah program pendidikan berasrama untuk anak-anak dari keluarga ekonomi tidak mampu. Tujuan utama program ini adalah untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui akses pendidikan gratis dan berkualitas. 

Pemerintah menargetkan pembangunan 200 Sekolah Rakyat pada tahun 2025, dengan kapasitas masing-masing sekolah mencapai 1.000 siswa. Jenjang pendidikan yang disediakan meliputi SD, SMP, dan SMA.

Sekolah ini akan berbasis asrama (boarding school), memberikan fasilitas lengkap untuk mendukung pembelajaran siswa dari keluarga miskin. Pemerintah menyampaikan program ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin agar anak-anak dari keluarga kurang mampu dapat meningkatkan taraf hidup mereka dan menjadi agen perubahan di masyarakat. 

Sebagian besar sekolah rakyat akan menggunakan gedung milik Kementerian Sosial yang direnovasi, sementara sisanya akan dibangun baru. 

Dalam lima tahun, pemerintah menargetkan setiap kabupaten memiliki setidaknya satu Sekolah Rakyat untuk memastikan pemerataan pendidikan di wilayah-wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Berbeda dengan Sekolah Rakyat, Sekolah Garuda adalah program pendidikan unggulan tingkat SMA yang ditujukan bagi siswa berprestasi. 

Program ini bertujuan mempercepat pengembangan talenta unggulan Indonesia, khususnya di bidang sains dan teknologi, serta mempersiapkan siswa untuk bersaing secara internasional. Fokus utamanya adalah mencetak generasi muda dengan daya saing global.

Pemerintah berencana membangun 20 SMA Garuda baru serta meningkatkan status 20 SMA/MA lainnya menjadi sekolah unggulan yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat. 

Sekolah ini mengadopsi sistem asrama dengan beasiswa penuh dari pemerintah. Kurikulumnya menggabungkan standar nasional dan internasional dengan fokus pada persiapan menuju perguruan tinggi kelas dunia. Selain guru lokal, beberapa pengajar asing akan dilibatkan untuk memberikan wawasan global kepada siswa.

Di tengah hiruk pikuknya masalah yang membelit dunia pendidikan kita, apakah urgensi pembangunan kedua model sekolah ini sudah mendesak untuk dilaksanakan? Ataukah hanya sebatas proyek mercusuar sebagai upaya menghadirkan kebaruan meskipun sejatinya tidak menyentuh substansi masalah pendidikan itu sendiri?

Masalah Pendidikan yang Rumit

Sudah 79 tahun republik ini berdiri dan persoalan pendidikan masih menjadi isu sentral dalam berbagai diskursus publik. Berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) di tahun 2023 ada 731.524 guru honorer di Indonesia. Dengan skala interval gaji antara 200-500 ribu rupiah per bulan. Jika dibandingkan dengan UMP Jakarta hari ini menyentuh angka 5 juta rupiah per bulan, maka penghasilan para guru honorer jauh dari kata cukup. Para guru honorer terpaksa mencari pekerjaan sampingan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Banyaknya laporan guru terjerat pinjol adalah salah satu indikator bahwa kesejahteraan guru masih jauh panggang dari api. Kalau saja uang negara berpuluh trilyun guna pembangunan Sekolah Rakyat itu dialihkan untuk menaikkan gaji guru honorer agar menjadi lebih layak tentu akan berdampak signifikan bagi kemajuan pendidikan kita. Angka yang disebutkan di atas adalah jumlah guru honorer yang terdata di Kemenpan-RB. Potensi jumlahnya bisa melebihi itu jika digabungkan dengan yang tidak terdata.

Juga terkait banyak temuan sekolah reguler yang rusak dan gedung tidak layak pakai. Berdasarkan paparan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), 29,45% sekolah di Indonesia mengalami kerusakan ringan hingga sedang, sementara 4,26% masuk kategori rusak berat. Jika merujuk pada total satuan pendidikan dasar dan menengah yang mencapai sekitar 300.000 unit, angka ini mengindikasikan bahwa sekitar 100.000 sekolah memerlukan perbaikan dengan tingkat urgensi berbeda. Data ini sejalan dengan pernyataan Kepala Biro Perencanaan Kemendikdasmen, Vivi Andriani, yang menyebutkan 10.000 dari 20.000 sekolah di daerah 3T mengalami kerusakan sedang hingga berat. Seandainya dana 800 milyar untuk Sekolah Garuda hanya cukup untuk membangun 4-8 unit sekolah kemudian dialihkan untuk renovasi sekolah reguler maka akan berdampak lebih merata.

Ketimpangan mutu pendidikan juga masih menjadi kendala serius. Antara kota dengan desa juga antara Jawa dengan luar Jawa. Berdasarkan hasil PISA tahun 2022 skor literasi Indonesia tergolong rendah hanya menyentuh angka 371 (rata-rata OECD 487). Data Kemdikbud menunjukkan di Papua hanya 30% anak SD yang lancar membaca. Angka partisipasi sekolah SMA di kota 75% dan di desa hanya 55%. Sementara Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda hanya fokus ke kelompok spesifik yaitu kelompok anak dari keluarga tidak mampu dan anak yang cerdas.

Dengan adanya program pendirian dua sekolah ini akan menimbulkan kasta baru dalam dunia pendidikan kita. Di tengah semangat untuk menghadirkan pendidikan inklusif di seluruh pelosok negeri, apakah program mercusuar ini tidak kontra produktif?

Reduplikasi Pola Kebijakan Lama

Ganti menteri ganti kurikulum, ganti pemerintahan ganti program dan proyek. Kalimat semacam ini sudah mafhum kita dengar dalam perbincangan sehari-hari. Jangan sampai jargon "susah benerin yang lama karena ribet, mending bikin baru biar cepat dan kelihatan kerja" benar adanya.

Meskipun pemerintah berasumsi bahwa pendirian Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda perlu dilihat sebagai respons strategis terhadap tantangan struktural pendidikan Indonesia yang terungkap dalam berbagai kajian, serta bersifat urgen dalam konteks tertentu, implementasinya harus diimbangi dengan perbaikan sistemik di sekolah konvensional.

Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda berpotensi mengundang konflik dengan sekolah reguler. Memperlebar jarak dan ketimpangan kualitas, menciptakan dualisme pada sistem pendidikan, serta sejatinya kebijakan ini juga berpotensi kurang menyentuh akar persoalan pendidikan itu sendiri menyangkut masalah guru dan infrastruktur pendidikan.

Perlu adanya kebijakan yang lebih bersifat integratif dan sinergi positif. Misalnya Sekolah Rakyat bisa menjadi laboratorium pendidikan karakter dan model sekolah berasrama untuk daerah tertinggal. Sekolah Garuda bisa dijadikan role model untuk mengembangkan standar kurikulum sains-teknologi yang bisa diadopsi sekolah lain. Pemerintah yakin bahwa kedua program ini urgen sebagai respons cepat terhadap krisis pendidikan spesifik (kemiskinan ekstrem dan kebutuhan talenta global), namun tidak boleh menjadi substitusi untuk reformasi menyeluruh. Data menunjukkan bahwa 78% masalah pendidikan Indonesia bersifat sistemik. Sehingga keberhasilan jangka panjang bergantung pada kemampuan pemerintah menjadikan sekolah-sekolah ini sebagai katalis perubahan, bukan sebuah entitas eksklusif.

Alih-alih mendirikan dua sekolah tersebut, saya pikir masih banyak PR lain di dunia pendidikan kita yang lebih urgen untuk diselesaikan. Terutama menyangkut persoalan guru, kurikulum, dan sarana prasarana sekolah rasanya perlu mendapat perhatian lebih dari para pengambil kebijakan. Berita gedung sekolah roboh dan sekolah gulung tikar akibat tidak mampu bersaing di era sekarang hampir setiap tahun kita temui di berbagai media. Artinya memang persoalan mendasar semacam ini masih menjangkiti banyak sekolah kita.

Diakhir tulisan ini saya teringat dengan sejarah kebijakan pendidikan kita menyangkut RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang dulu pernah dicanangkan semasa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dikemudian hari program itu dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan semangat egaliter dan pemerataan dalam akses pendidikan kita.

Lalu bagaimana dengan Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda ini? Akankah nantinya berdampak signifikan terhadap kemajuan dunia pendidikan di Indonesia? Ataukah akan berakhir seperti sekolah-sekolah RSBI itu? Biarkan waktu yang akan menjawabnya. Tetap sehat dan tetap semangat. Salam blogger persahabatan.

Referensi:   1    2    3    4    5

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun