Mohon tunggu...
Prasetya Yudanta
Prasetya Yudanta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sastra, Filsafat, Psikologi, Ekonomi, Politik dan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mayat Dalam Troli, Hayat Tanpa Arti

1 Desember 2022   17:26 Diperbarui: 1 Desember 2022   17:40 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sisyphus dan Batunya (stock.adobe.com/Yuran)

Akhir-akhir ini banyak kasus kejahatan yang menarik perhatian masyarakat Indonesia dan dunia, terutama dalam kasus pembunuhan, sebut saja kasus pembunuhan mayat perempuan yang disembunyikan dalam troli, kasus Ferdy Sambo dan kasus pembunuhan matan PM Jepang Shinzo Abe. 

Ketiga kasus tersebut jika dilihat dari sisi rasionalitas tidak masuk akal melihat resiko yang akan dihadapi oleh para pelaku. Apakah pelaku pembunuh yang mayat korbannya disembunyikan tidak akan terungkap setelah terekam banyak CCTV, lebih-lebih Tetsuya Yamagami, pembunuh mantam PM Jepang, apakah sebegitu bodohnya berpikir bahwa ia akan dibiarkan begitu saja, atau Ferdy Sambo yang berpangkat jenderal bintang dua lebih memilih membunuh bawahannya daripada “jalur aman”, yaitu pengadilan? Padahal mudah saja bagi seorang jenderal menyeret anak buahnya ke meja hijau.

Hukuman pembunuhan berencana juga tidak main-main (itupun jika proses peradilannya tidak main-main), setidaknya di Indonesia, hukumannya adalah hukuman mati, penjara seumur hidup atau penjara dua puluh tahun. Cukup untuk membuat kehidupan seseorang hancur.

Masih saja dilakukan mengingat para korban tetap akan mati meskipun tidak dibunuh oleh para pelaku, tetapi begitu juga dengan para pelaku, bukan? Dan yang terpenting, apakah kehidupan para pelaku kejahatan itu layak untuk dijalani bahkan jika ia harus berada dibalik jeruji penjara hingga akhir hayat?

L’Etranger

Kasus-kasus pembunuhan yang terlihat tak rasional dan mungkin tak akan pernah terlihat rasional itu mengingatkan kita dengan novel L’Etranger (Orang Asing) karya Albert Camus. L’Etranger bercerita tentang seorang laki-laki Prancis biasa bernama Meursault yang hidup di Aljazair mendapat kabar bahwa ibunya mati, tapi anehnya ia tak begitu mengingat kapan hari pasti kematian ibunya. Meursault lantas pergi ke panti jompo ibunya untuk menghadiri pemakaman tanpa menunjukkan rasa sedih yang umumnya melingkupi pemakaman. Tak lama setelah pemakaman ia bahkan berlibur ke pantai, di mana normalnya orang-orang masih dalam masa berkabung.

Ketika suatu hari Meursault diajak oleh temannya untuk pergi ke pantai Meursault dan temannya berpapasan dengan orang-orang Arab dan terlibat cekcok, Meursault dan temannya itu kembali. Tetapi pada akhirnya, Meursault meminjam pistol milik temannya dan membunuh orang Arab itu, “musuh temannya”.Meursault akhirnya ditangkap dan diadili, tapi bagaimanapun Meursault tidak terlihat mencoba membela diri dan menjalani hidupnya di penjara tanpa begitu memikirkan kasusnya. Meursault tak berharap pada kasusnya dan menjalani hukumannya tanpa penyesalan yang biasa terlihat pada terpidana umumnya.

Pada kasus pembunuhan yang mayatnya disembunyikan dalam troli, pelaku menyebutkan bahwa ia puas telah melakukan pembunuhan tersebut. Dalam kasus pembunuhan berencana terkadang ada pelaku yang merencanakan pembunuhannya jauh-jauh hari, susah-susah, seolah-olah hidup-matinya bergantung pada obsesinya untuk membunuh korban. Keinginan pelaku pembunuhan berencana memiliki sedikit kemiripan dengan keinginan atau cita-cita orang normal. 

Seorang pelajar yang giat berharap bahwa ia akan mendapat nilai sempurna, seorang polisi yang puluhan tahun menunggu kenaikkan pangkat dan berharap menjadi jenderal atau apapun. Semakin sulit dan lama harapan itu akan tercapai maka semakin kecil pula kemungkinannya, sedangkan jika keinginan itu tercapai tak ada jaminan bahwa kebahagiaan akan terus berlanjut hingga ke liang kubur. Harapan menjadi semacam kutukan dalam pencarian akan kebahagiaan.

Le mythe de Sisysphe

Mitos Sisifus adalah mitologi Yunani Kuno yang mengisahkan seorang raja bernama Sisifus. Sisifus terkenal dengan kecerdikan dan kelicikannya sehingga mampu membodohi dewa-dewa, bahkan dewa kematian, sehingga ia tidak jadi mati. Akibat perilaku Sisifus itulah ia akhirnya dihukum untuk mendorong batu hingga ke puncak bukit, tetapi sebelum mencapai puncak batu tersebut menggelinding terus-menerus selamanya.

Hukuman bagi Sisifus adalah ketidakbermaknaan. Sisifus mengerjakan tugas yang pada akhirnya akan ia ulangi kembali seperti manusia umumnya dalam mencari arti kehidupan dan kebahagiaan hingga akhirnya mati.

Sejak kecil kebanyakan dari kita didoktrin untuk pergi ke sekolah, belajar, kerja keras dan sukses. Saat SD kita diharapkan belajar agar ranking satu dan nilai ujian tinggi dengan tujuan agar mudah masuk SMP favorit, ketika SMP berlaku sama agar masuk SMA favorit dan pada saat SMA lebih intens lagi agar bisa masuk ke perguruan tinggi favorit dan murah.

 Pada saat perguruan tinggi berkompetisi agar mendapatkan IPK tinggi dan diharapkan mudah masuk dunia kerja, sedangkan dalam dunia kerja kita berkerja keras membangun karir hingga akhirnya menjumpai diri kita pensiun dengan tubuh yang sudah tua dan segala gangguan kesehatan dan kematian yang menghantui.

Sebenarnya tujuan dari pengejaran selama bertahun-tahun tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah kebahagiaan. Orang-orang berharap bahwa jika ia menjadi demikian akan bahagia atau memiliki ini dan itu akan bahagia, memiliki jabatan begini dan gelar begitu akan bahagia. 

Lantas mengapa definisi kebahagiaan kita terjebak ke dalam material-hedonisme? Saya pikir kekayaan dan kekuasaan dipandang sebagai simbol kebahagiaan karena kekayaan dan kekuasaan cenderung mudah dikuantifikasi dan dikomparasi satu sama lain serta terlihat wujud fisiknya. Barangkali begitu pula dengan para pembunuh yang dendam kesumat selama bertahun-tahun merasakan “puas” saat melakukan kejahatannya.

Memori

Saya percaya bahwa pikiran adalah pemain dominan dalam menentukan apakah kita bagagia atau tidak, setidaknya ketika kaki saya terkilir kaki saya tidak akan mengatakan “aku tidak bahagia”. Walaupun, dalam pencarian kita terhadap kebahagiaan, ada semacam ketidakbermaknaan dalam pencarian tersebut. Kita tidak dapat menjadi bahagia dengan mengandalkan kebahagiaan masa lalu, saya lebih suka menyebut bahwa manusia adalah “mahluk saat ini”.

Kesadaran yang sebenarnya berada di masa kini. Kebahagiaan yang telah lampau tidak dapat digunakan kembali di saat ini atau masa depan. Bayangkan kita dalam posisi lapar, kita tidak bisa mengisi perut kita dengan cara mengingat kembali masa-masa kita kekenyangan hingga rasanya perut akan meletus atau ketika makan makanan yang kita tidak disukai tidak akan menjadi enak dengan membayangkan rasa makanan favorit kita. 

Kebahagiaan yang telah dilalui hanya benar-benar terasa pada waktu itu juga dan hanya akan berakhir menjadi “memori manis”, yang mentok-mentok akan menjadi nilai dalam rapor dalam kehidupan kita apakah kita telah menjalani hidup ini dengan semaksimal mungkin sesuai tujuan kita saat kita mengingat kembali. 

Dan kebanyakan dari memori tersebut akan terlupakan. Meskipun sampai pada titik tertentu, apa yang diri kita lakukan di masa kini dapat memprediksi apa yang terjadi di masa depan. 

Akan tetapi, masa depan tetaplah masa depan yang belum terjadi dan masih berupa potensi dan tidak belum nyata adanya dan inilah paradoks kebahagiaan di mana diri kita, kebahagiaan kita, ditarik di kedua sisi berlawanan oleh masa lalu yang tak bisa diulangi dan masa depan yang belum pasti. Di sisi lain, kematian entah dari mana mengawasi dan menghantui, siap menyambar kapanpun.

Automemori

Selama kematian dan segala rasa sakit menghantui, maka ketidakbermaknaan hidup masih tetap mengungkung. Perkembangan teknologi yang pesat masih mampu memberikan harapan pada manusia di dunia penuh rasa sakit ini. Ada dua cara agar kita terbebas dari penjara tersebut. Pertama, menciptakan obat bagi segala penyakit dan keabadian, lalu teknologi untuk memindahkan kesadaran/pikiran kita secara penuh ke tubuh lain atau tubuh pengganti. Solusi pertama agaknya mustahil untuk dicapai karena sesuatu yang fisik akan mematuhi hukum fisika, sedangkan yang kedua, meskipun prospeknya masih belum jelas tapi selalu ada sesuatu yang bisa dicoba. 

Meskipun akan muncul pertanyaan apakah setelah kita berpindah tubuh, kesadaran/pikiran tersebut tetap diri kita dan bukan hanya sebatas memori saja layaknya hardisk pada komputer? Konsep jiwa dalam agama-agama pun menambah pesemisme masa akan keautentika diri kita di "kehidupan kedua" yang dihasilkan oleh artificial intelligence. Meskipun perjuangan umat manusia begitu gigih menciptakan "elixir of life", kutukan umat manusia belum selesai.

Walaupun pada akhirnya kita berhasil lari dari kematian, kita tetap akan menjalani hidup yang begitu lama dan akan membosankan begitu menyadari bahwa matahari esok akan terbit, mungkin butuh berjuta-juta atau bermiliar-miliar tahun menunggu matahari dan seluruh bintang di alam semesta runtuh dan sekaligus runtuhnya alam semesta itu sendiri seolah-olah hidup itu tanpa tujuan akhir. 

Akan tetapi, hidup kita saat ini, pada akhirnya diri kitalah yang memutuskan apakah ia layak dijalani atau tidak. Mengingat bahwa pada tahun 2020 lalu ketika terjadi wabah Covid-19 ada seorang menteri keuangan di Jerman yang diduga mati bunuh diri meski itu terlihat tak masuk akal ketika mengingat budak-budak di dunia kuno seperti Romawi Kuno, Persia Kuno atau Mesir Kuno atau zaman penjajahan yang kehidupannya tak lebih baik dari hewan ternak, di mana orang zaman kita tak memandang kehidupan para budak itu layak untuk dijalani. Akan tetapi, toh, pada akhirnya budak-budak itu yang menetukan dan memilih tetap menjalani hidup mereka yang “tak layak dijalani” hingga maut menjemput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun