Mohon tunggu...
Prasetya Yudanta
Prasetya Yudanta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sastra, Filsafat, Psikologi, Ekonomi, Politik dan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mayat Dalam Troli, Hayat Tanpa Arti

1 Desember 2022   17:26 Diperbarui: 1 Desember 2022   17:40 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sisyphus dan Batunya (stock.adobe.com/Yuran)

Sejak kecil kebanyakan dari kita didoktrin untuk pergi ke sekolah, belajar, kerja keras dan sukses. Saat SD kita diharapkan belajar agar ranking satu dan nilai ujian tinggi dengan tujuan agar mudah masuk SMP favorit, ketika SMP berlaku sama agar masuk SMA favorit dan pada saat SMA lebih intens lagi agar bisa masuk ke perguruan tinggi favorit dan murah.

 Pada saat perguruan tinggi berkompetisi agar mendapatkan IPK tinggi dan diharapkan mudah masuk dunia kerja, sedangkan dalam dunia kerja kita berkerja keras membangun karir hingga akhirnya menjumpai diri kita pensiun dengan tubuh yang sudah tua dan segala gangguan kesehatan dan kematian yang menghantui.

Sebenarnya tujuan dari pengejaran selama bertahun-tahun tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah kebahagiaan. Orang-orang berharap bahwa jika ia menjadi demikian akan bahagia atau memiliki ini dan itu akan bahagia, memiliki jabatan begini dan gelar begitu akan bahagia. 

Lantas mengapa definisi kebahagiaan kita terjebak ke dalam material-hedonisme? Saya pikir kekayaan dan kekuasaan dipandang sebagai simbol kebahagiaan karena kekayaan dan kekuasaan cenderung mudah dikuantifikasi dan dikomparasi satu sama lain serta terlihat wujud fisiknya. Barangkali begitu pula dengan para pembunuh yang dendam kesumat selama bertahun-tahun merasakan “puas” saat melakukan kejahatannya.

Memori

Saya percaya bahwa pikiran adalah pemain dominan dalam menentukan apakah kita bagagia atau tidak, setidaknya ketika kaki saya terkilir kaki saya tidak akan mengatakan “aku tidak bahagia”. Walaupun, dalam pencarian kita terhadap kebahagiaan, ada semacam ketidakbermaknaan dalam pencarian tersebut. Kita tidak dapat menjadi bahagia dengan mengandalkan kebahagiaan masa lalu, saya lebih suka menyebut bahwa manusia adalah “mahluk saat ini”.

Kesadaran yang sebenarnya berada di masa kini. Kebahagiaan yang telah lampau tidak dapat digunakan kembali di saat ini atau masa depan. Bayangkan kita dalam posisi lapar, kita tidak bisa mengisi perut kita dengan cara mengingat kembali masa-masa kita kekenyangan hingga rasanya perut akan meletus atau ketika makan makanan yang kita tidak disukai tidak akan menjadi enak dengan membayangkan rasa makanan favorit kita. 

Kebahagiaan yang telah dilalui hanya benar-benar terasa pada waktu itu juga dan hanya akan berakhir menjadi “memori manis”, yang mentok-mentok akan menjadi nilai dalam rapor dalam kehidupan kita apakah kita telah menjalani hidup ini dengan semaksimal mungkin sesuai tujuan kita saat kita mengingat kembali. 

Dan kebanyakan dari memori tersebut akan terlupakan. Meskipun sampai pada titik tertentu, apa yang diri kita lakukan di masa kini dapat memprediksi apa yang terjadi di masa depan. 

Akan tetapi, masa depan tetaplah masa depan yang belum terjadi dan masih berupa potensi dan tidak belum nyata adanya dan inilah paradoks kebahagiaan di mana diri kita, kebahagiaan kita, ditarik di kedua sisi berlawanan oleh masa lalu yang tak bisa diulangi dan masa depan yang belum pasti. Di sisi lain, kematian entah dari mana mengawasi dan menghantui, siap menyambar kapanpun.

Automemori

Selama kematian dan segala rasa sakit menghantui, maka ketidakbermaknaan hidup masih tetap mengungkung. Perkembangan teknologi yang pesat masih mampu memberikan harapan pada manusia di dunia penuh rasa sakit ini. Ada dua cara agar kita terbebas dari penjara tersebut. Pertama, menciptakan obat bagi segala penyakit dan keabadian, lalu teknologi untuk memindahkan kesadaran/pikiran kita secara penuh ke tubuh lain atau tubuh pengganti. Solusi pertama agaknya mustahil untuk dicapai karena sesuatu yang fisik akan mematuhi hukum fisika, sedangkan yang kedua, meskipun prospeknya masih belum jelas tapi selalu ada sesuatu yang bisa dicoba. 

Meskipun akan muncul pertanyaan apakah setelah kita berpindah tubuh, kesadaran/pikiran tersebut tetap diri kita dan bukan hanya sebatas memori saja layaknya hardisk pada komputer? Konsep jiwa dalam agama-agama pun menambah pesemisme masa akan keautentika diri kita di "kehidupan kedua" yang dihasilkan oleh artificial intelligence. Meskipun perjuangan umat manusia begitu gigih menciptakan "elixir of life", kutukan umat manusia belum selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun