Perjalanan kaki ini bukan sekadar perpindahan tubuh; ini adalah perjalanan jiwa. Setiap langkah membawaku lebih dalam, bukan hanya ke dalam hutan, tapi ke dalam diriku sendiri.
Pertemuan: Taeno di Balik Kabut
Dan akhirnya, setelah satu jam berjalan, aku sampai.
Air Terjun Taeno menyambutku dengan megah dan sederhana sekaligus. Dari ketinggian sekitar 40 meter, air jatuh bebas, membentuk tirai putih yang lembut.
Bebatuan hitam di sekelilingnya basah berkilau, dilapisi lumut hijau tebal. Kabut air beterbangan, menciptakan pelangi kecil yang menari-nari di udara.
Aku berdiri terpaku. Ada sesuatu yang suci di sini — sesuatu yang membuat suara hati sendiri terdengar lebih keras.
Tidak ada wisatawan lain. Tidak ada suara selain desau air dan sesekali dedaunan yang bergesekan. Seolah-olah seluruh dunia telah lenyap, menyisakan hanya aku dan Taeno.
Aku melepas sepatu, membiarkan kaki telanjangku merasakan dinginnya batu dan lembutnya lumpur. Perlahan, aku berjalan ke tepi kolam. Airnya jernih, sebening kristal, memperlihatkan dasar berbatu yang licin dan berlumut.
Aku menadahkan tangan, membiarkan percikan air membasuh wajahku. Dingin. Segar. Seperti disentuh tangan pertama bumi.
Waktu yang Luruh: Berdiam di Hadapan Air
Aku duduk di atas batu besar yang menonjol, diam, membiarkan waktu mengalir tanpa arah.
Sesekali kupandangi percikan air yang memantul-mantul seperti berjuta bintang kecil. Lalu kupandangi langit — biru tua, bertabur awan tipis yang berjalan malas.
Segalanya di sini mengajarkan kesabaran. Tidak ada yang tergesa-gesa di hadapan alam.