Pagi itu, Ambon membuka matanya dengan pelan. Langit berpendar warna perak, diiringi semilir angin yang membawa aroma asin laut dan harum tanah basah. Aku berdiri di tepian kota, membawa ransel sederhana, hati yang kosong, dan satu tujuan — Air Terjun Taeno.
Namanya mungkin belum sepopuler Pantai Natsepa atau Pintu Kota, namun justru dalam sunyi Taeno, aku mencari sesuatu: ketulusan alam yang belum banyak tersentuh tangan manusia.
Langkah Awal: Dari Kota ke Dusun
Dari pusat kota Ambon, aku berkendara melintasi jalan berkelok menuju Dusun Taeno, yang terletak di Kelurahan Rumah Tiga, Kecamatan Teluk Ambon. Sepanjang perjalanan, aku disuguhi pemandangan yang tak pernah bosan: laut membiru di sisi kanan, bukit-bukit hijau membentang di sisi kiri, seolah menenun lukisan yang hidup.
Motor yang kukendarai meraung pelan, melaju menembus angin. Kadang-kadang, kami melewati pasar kecil, rumah-rumah panggung berwarna pastel, dan anak-anak yang berlarian tanpa alas kaki. Dunia di sini bergerak lambat — tidak terburu-buru seperti kota, tidak bising oleh ambisi.
Sesampainya di Dusun Taeno, aku memarkir motor di sebuah pelataran kecil. Dari sini, perjalanan sesungguhnya dimulai: berjalan kaki menembus hutan, menuju bisikan air yang tersembunyi jauh di perut bumi.
Menyusuri Jalur Hutan: Simfoni Hijau
Langkahku menapaki jalan setapak, berlumpur sisa hujan semalam. Di kanan-kiri, pepohonan menjulang tinggi, seolah pagar hidup yang membisikkan doa-doa purba. Cahaya matahari menari lewat celah dedaunan, membentuk mosaik cahaya di tanah.
Aku berhenti sejenak, menarik napas panjang. Aroma tanah basah, harum dedaunan muda, dan sesekali wangi bunga hutan yang samar — semuanya bercampur membelai indera.
Suara air mulai terdengar, mula-mula hanya seperti bisikan, lalu perlahan-lahan menguat menjadi desiran, gemuruh lembut yang memanggil-manggil dari jauh.
Seekor burung nuri berwarna merah-hijau melintas cepat di atas kepala, suaranya seperti tawa kecil di antara keheningan.
Perjalanan kaki ini bukan sekadar perpindahan tubuh; ini adalah perjalanan jiwa. Setiap langkah membawaku lebih dalam, bukan hanya ke dalam hutan, tapi ke dalam diriku sendiri.
Pertemuan: Taeno di Balik Kabut
Dan akhirnya, setelah satu jam berjalan, aku sampai.
Air Terjun Taeno menyambutku dengan megah dan sederhana sekaligus. Dari ketinggian sekitar 40 meter, air jatuh bebas, membentuk tirai putih yang lembut.
Bebatuan hitam di sekelilingnya basah berkilau, dilapisi lumut hijau tebal. Kabut air beterbangan, menciptakan pelangi kecil yang menari-nari di udara.
Aku berdiri terpaku. Ada sesuatu yang suci di sini — sesuatu yang membuat suara hati sendiri terdengar lebih keras.
Tidak ada wisatawan lain. Tidak ada suara selain desau air dan sesekali dedaunan yang bergesekan. Seolah-olah seluruh dunia telah lenyap, menyisakan hanya aku dan Taeno.
Aku melepas sepatu, membiarkan kaki telanjangku merasakan dinginnya batu dan lembutnya lumpur. Perlahan, aku berjalan ke tepi kolam. Airnya jernih, sebening kristal, memperlihatkan dasar berbatu yang licin dan berlumut.
Aku menadahkan tangan, membiarkan percikan air membasuh wajahku. Dingin. Segar. Seperti disentuh tangan pertama bumi.
Waktu yang Luruh: Berdiam di Hadapan Air
Aku duduk di atas batu besar yang menonjol, diam, membiarkan waktu mengalir tanpa arah.
Sesekali kupandangi percikan air yang memantul-mantul seperti berjuta bintang kecil. Lalu kupandangi langit — biru tua, bertabur awan tipis yang berjalan malas.
Segalanya di sini mengajarkan kesabaran. Tidak ada yang tergesa-gesa di hadapan alam.
Aku mengambil buku catatan kecil dari tas, dan mulai menulis:
"Di hadapan air yang jatuh tanpa ragu,
Aku belajar melepaskan.
Di hadapan lumut yang tabah memeluk batu,
Aku belajar bertahan."
Aku tersenyum kecil. Kadang-kadang, perjalanan bukan tentang tempat baru, tapi tentang menemukan diri sendiri dalam cermin-cermin alam.
Menyelam dalam Dingin: Menyatu dengan Taeno
Tak tahan melihat kejernihan kolam di bawah air terjun, aku melepas pakaian luar, menyisakan pakaian renang, lalu melompat.
Air menyambutku dengan dingin yang menggigit, membekukan napas sejenak, sebelum tubuhku menyesuaikan diri. Aku berenang ke arah jatuhan air, mencoba merasakan tenaga alam secara langsung.
Di bawah air terjun, dunia menjadi buram dan penuh suara gemuruh. Tapi anehnya, ada ketenangan di tengah kekacauan itu. Seolah-olah tubuhku diurapi oleh kekuatan purba.
Aku menengadah, membiarkan air menghantam wajah, dada, pundakku.
Dalam detik-detik itu, aku merasa benar-benar hidup.
Petang yang Jatuh: Perpisahan Sementara
Waktu terus merayap, meskipun aku berharap ia membeku.
Ketika matahari mulai condong ke barat, warna langit berubah perlahan dari biru menjadi jingga keemasan. Bayangan pepohonan memanjang, dan hawa udara mulai dingin.
Dengan berat hati, aku beranjak dari air, mengenakan kembali pakaian, dan bersiap untuk pulang.
Sebelum pergi, aku menoleh sekali lagi ke arah Air Terjun Taeno, menatapnya seolah-olah ingin mengukirnya di dalam hati.
"Sampai jumpa, Ateno kecil,
Dalam mimpiku nanti, biarlah gemuruhmu tetap bernyanyi."
Aku tersenyum, melangkah pulang, membawa serta basah di kulit, lumpur di kaki, dan damai yang memenuhi jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI