Secara hukum positif, aturan mengenai perceraian antara anggota militer dan pasangannya tidak hanya tunduk pada hukum umum seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, tetapi juga pada aturan khusus internal TNI seperti Peraturan Panglima (Perpang) dan peraturan teknis lainnya dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Dalam banyak ketentuan tersebut, tertera bahwa anggota TNI yang ingin bercerai wajib mendapatkan izin dari atasan langsungnya, dan proses ini pun berlaku juga ketika istrinya yang menggugat. Hal ini secara tidak langsung menciptakan ketimpangan dalam akses keadilan, karena seorang istri sipil harus menghadapi struktur militer yang tertutup dan berlapis-lapis. Hak perempuan untuk mengakhiri pernikahan yang tidak sehat menjadi terkendala, padahal hukum secara umum telah memberikan jalan yang sah untuk perceraian apabila terdapat alasan-alasan yang kuat, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pengabaian nafkah, atau perselisihan yang tidak bisa didamaikan.
  Kondisi ini menjadi lebih mengkhawatirkan jika kita lihat dari sudut pandang maqashid syariah. Dalam maqashid syariah, hukum Islam bertujuan untuk menjaga lima prinsip dasar: agama (din), jiwa (nafs), akal ('aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Perceraian dalam Islam memang bukan sesuatu yang disukai, tetapi tetap dibolehkan apabila kehidupan rumah tangga tidak lagi mendatangkan maslahat dan malah menimbulkan mudarat. Dalam konteks ini, jika seorang perempuan tidak bisa lagi mendapatkan perlindungan, kedamaian, atau hak-haknya dalam pernikahan, maka menunda atau menghambat proses perceraian justru bertentangan dengan prinsip maqashid itu sendiri, terutama dalam hal perlindungan terhadap jiwa, martabat, dan kemaslahatan pribadi. Menurut saya, ketika hukum justru mempersulit perempuan untuk keluar dari hubungan yang merugikan, maka hukum tersebut perlu dikritisi dan ditinjau ulang, agar lebih sesuai dengan semangat keadilan dalam Islam.
   Skripsi saya nanti bukan hanya akan menjadi kajian normatif terhadap peraturan perundang-undangan dan kebijakan TNI, tetapi juga merupakan bentuk kepedulian saya terhadap isu keadilan gender dalam konteks hukum keluarga militer. Saya ingin menyoroti bagaimana sistem hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam, seharusnya bekerja untuk melindungi yang lemah, bukan malah menambah beban mereka. Saya berharap skripsi ini dapat mengangkat kesadaran akan pentingnya reformasi hukum dalam institusi yang selama ini sangat tertutup dari pengawasan publik, serta mendorong hadirnya regulasi yang lebih manusiawi dan berperspektif gender.
  Melalui penelitian yang akan saya rencanakan tersebut, saya ingin menunjukkan bahwa antara hukum positif dan maqashid syariah sebenarnya terdapat titik temu yang sama-sama mengedepankan keadilan dan perlindungan terhadap hak individu, khususnya perempuan. Dengan membandingkan dan mengkaji dua pendekatan ini, saya berharap bisa memberikan solusi yang tidak hanya legal secara administratif, tetapi juga etis dan bermartabat secara spiritual. Bagi saya, ini bukan sekadar proyek akademik, tetapi juga bagian dari upaya kecil saya untuk berbicara atas nama perempuan-perempuan yang suaranya selama ini tak terdengar di balik tembok tebal institusi militer.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI