Mohon tunggu...
PRAPASKA DALIS
PRAPASKA DALIS Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta angkatan 2023 more info follow my instagram @praz_dls

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Skripsi : Faktor-Faktor Penyebab Laki-Laki Dan Perempuan Belum Menikah di Usia 35-60 Tahun Ke Atas

31 Mei 2025   07:35 Diperbarui: 9 Juni 2025   20:20 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

   Fenomena belum menikah di usia dewasa lanjut, sebagaimana yang ditemukan dalam studi lapangan di Desa Wonorejo, secara tidak langsung dapat menjadi tantangan terhadap tercapainya ḥifẓ al-nasl, terutama bagi individu yang telah melewati usia subur. Misalnya, narasumber bernama Rusmini yang berusia 62 tahun telah mengalami menopause, sehingga secara biologis tidak lagi memungkinkan untuk memiliki keturunan. Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk merealisasikan aspek ḥifẓ al-nasl telah tertutup secara medis. Berbeda halnya dengan narasumber seperti Siti (35 tahun) dan Nurul (43 tahun), yang meskipun masih berada dalam masa subur, namun secara medis memiliki risiko tinggi jika menjalani kehamilan, seperti komplikasi kehamilan maupun risiko genetik pada janin. Situasi ini menunjukkan bahwa keterlambatan dalam pernikahan tidak hanya berdampak pada aspek sosial-psikologis, tetapi juga berkaitan erat dengan potensi kegagalan dalam mencapai tujuan biologis dari pernikahan menurut pandangan Islam.

    Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa maqāṣid syarī‘ah tidak bersifat kaku ataupun parsial. Maqāṣid merupakan kerangka etik dan normatif yang bersifat fleksibel dan komprehensif, yang mampu merespons berbagai dinamika sosial, psikologis, dan biologis umat manusia. Dalam hal ini, meskipun ḥifẓ al-nasl tidak dapat terpenuhi secara sempurna karena alasan biologis atau pilihan hidup, bukan berarti individu yang belum menikah tidak dapat merealisasikan maqāṣid lainnya. Banyak dari narasumber dalam penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun mereka belum menikah, mereka tetap mampu menjaga diri dari perbuatan zina (ḥifẓ al-nafs), menjaga nilai-nilai moral dan kesucian diri (ḥifẓ al-dīn), terus meningkatkan kapasitas intelektual dan spiritual mereka (ḥifẓ al-‘aql), serta mampu hidup secara mandiri dengan pekerjaan yang layak (ḥifẓ al-māl). Dengan kata lain, maqāṣid syarī‘ah tetap dapat tercapai meskipun tidak melalui jalur pernikahan, selama individu tersebut menjaga prinsip-prinsip dasar yang diajarkan dalam Islam.

   Lebih jauh, dalam kerangka maqāṣid syarī‘ah modern, para ulama kontemporer menekankan pentingnya memahami maqāṣid secara holistik, yakni tidak hanya terbatas pada pemenuhan literal, tetapi juga pada pemaknaan fungsional. Dalam hal ini, keinginan untuk menikah yang masih ada dalam diri beberapa narasumber laki-laki seperti Mustahal (48 tahun) dan Saiful Bakhri (50 tahun) menunjukkan adanya kesadaran religius yang kuat akan pentingnya membina keluarga sebagai bagian dari ibadah dan sarana aktualisasi maqāṣid. Namun demikian, berbagai kendala sosial, psikologis, ekonomi, dan biologis sering kali menjadi penghalang utama dalam merealisasikan niat tersebut.

   Oleh sebab itu maka pemahaman maqāṣid syarī‘ah dalam konteks individu yang belum menikah di usia dewasa lanjut perlu dilakukan secara inklusif dan proporsional. Tidak semua orang diberikan jalan yang sama untuk memenuhi ḥifẓ al-nasl, namun maqāṣid syarī‘ah tidak hanya dapat direalisasikan melalui pernikahan semata. Individu yang mampu menjaga integritas moral, berkontribusi positif dalam masyarakat, dan menjalankan kewajiban agama dengan baik, tetap berada dalam jalur maqāṣid meskipun tanpa melewati institusi pernikahan. Pemahaman ini penting untuk menghindari stigma sosial yang menyalahkan individu lajang usia lanjut secara mutlak, dan sebaliknya, mendorong pendekatan yang lebih empatik dan berbasis nilai terhadap pilihan hidup yang diambil oleh setiap individu.

.

 8. Kesimpulan Analisis

   Berdasarkan hasil temuan dan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa belum menikahnya individu di usia 35--60 tahun ke atas di Desa Wonorejo disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kondisi psikologis seperti trauma masa lalu, rasa insecure, kebutuhan khusus (disabilitas), dan kecenderungan untuk memilih hidup mandiri.

   Sementara itu, faktor eksternal mencakup kondisi ekonomi yang belum mapan, tekanan sosial yang menurun, keterbatasan dalam menemukan pasangan yang cocok, dan lingkungan sosial yang tidak mendukung. Selain itu, faktor biologis juga turut memengaruhi, terutama terkait kondisi reproduksi yang mulai menurun seiring bertambahnya usia, baik pada laki-laki maupun perempuan.

    Dari sisi sosial dan psikologis, sebagian besar narasumber menunjukkan bahwa mereka lebih memilih untuk hidup tenang, menjalani aktivitas pribadi, dan menjaga hubungan yang harmonis dengan keluarga terdekat daripada mengejar pernikahan. Beberapa dari mereka juga memiliki tingkat keimanan yang kuat dan merasa cukup dengan kehidupan spiritualnya.

   Dalam perspektif maqasid syariah, meskipun pernikahan dianjurkan untuk menjaga keturunan, tetapi dalam kondisi tertentu, maqasid lain seperti menjaga jiwa dan menjaga agama tetap dapat dicapai walaupun seseorang memilih untuk tidak menikah. Oleh karena itu, fenomena belum menikah di usia dewasa lanjut perlu dipahami secara multidimensional, tidak hanya dari aspek agama dan budaya, tetapi juga dari segi sosial, psikologis, dan biologis. Pemahaman yang komprehensif ini dapat menjadi dasar bagi keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk memberikan pendekatan yang lebih bijak dan suportif terhadap individu yang memilih untuk tidak menikah pada usia matang.

Rencana Skripsi

     Saya tertarik untuk menulis skripsi tentang rumitnya aturan perceraian dengan anggota TNI dari sudut pandang perempuan, karena saya melihat adanya ketimpangan yang cukup signifikan dalam proses dan pemenuhan hak-hak perempuan ketika berada dalam posisi sebagai istri prajurit. Dalam masyarakat umum saja, proses perceraian sudah sangat kompleks, baik dari segi emosional, sosial, maupun prosedural. Namun, kerumitan ini menjadi berlipat ketika perceraian terjadi di lingkungan militer, di mana perempuan yang menjadi istri prajurit berada dalam sistem yang sangat hierarkis, patriarkis, dan tertutup. Salah satu hal yang paling menggelitik perhatian saya adalah fakta bahwa ketika seorang istri ingin mengajukan gugatan cerai dari suaminya yang merupakan anggota TNI, ia harus menghadapi lapisan-lapisan birokrasi internal militer yang tidak hanya panjang, tetapi juga sangat kaku dan sering kali tidak berpihak padanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun