Ada artikel menarik di The Jakarta Post yang berjudul "Indonesia faces brain drain as skilled graduates leave for jobs abroad" (Indonesia menghadapi kehabisan orang-orang pandai, karena para lulusan yang terampil berbondong-bondong hijrah ke luar negeri untuk mencari kerja). Hal ini menarik perhatian Penulis, terutama karena kemarin Penulis menulis artikel/opini mengenai PHK massal, dan bagaimana bangkit di tengah badai PHK massal di era digital.
Baca juga: Badai PHK 2024/2025, Negara Harus Hadir dan Bangkit dari PHK Massal di Era Digital
Indonesia Menghadapi Brain Drain Kronis
Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan besar, yaitu semakin banyaknya lulusan terampil yang memilih meninggalkan tanah air demi kesempatan kerja di luar negeri. Fenomena ini bukan cuma soal pergi, melainkan tanda bahwa sistem ketenagakerjaan domestik belum mampu menyerap potensi mereka. Data terkini menunjukkan animo tinggi untuk mencetak "gelombang otak migran," yang secara psikologis dan ekonomis memberi tekanan pada sendi keberlanjutan nasional.
Melihat Akar Brain Drain
Seperti dilaporkan The Jakarta Post, tren ini mencuat karena kekurangan lapangan kerja formal bagi lulusan muda, di satu sisi Universitas Gadjah Mada menyebut tingkat pengangguran lulusan muda mencapai 16%, jauh di atas rata-rata nasional. Banyak lulusan, mulai dari ilmu politik hingga pariwisata, merasa terpaksa mengambil pekerjaan nonprofesional di luar negeri seperti buruh pabrik ayam di Australia atau magang perhotelan di Amerika Serikat .
Fenomena #KaburAjaDulu yang pernah viral juga menunjukkan kerentanan psikologis generasi muda mendapatkan kesempatan minim dan merasa tidak dianggarkan oleh kebijakan domestik. Lihat saja, kepesertaan pemegang visa kerja melonjak 44% dalam satu tahun, menjadi 4.285 pada 2023--2024 dibandingkan dengan 2.984 di periode sebelumnya.
Dampak Ekonomis dan Strategis
Dari sisi ekonomi, migrasi talenta ini berpotensi menghambat produktivitas nasional. Peneliti senior dari CORE Indonesia memperingatkan bahwa jika brain drain terus berlanjut, inovasi dan kemajuan teknologi akan terhambat, perkembangan teknologi dalam negeri melambat, bahkan politik ekonomi bisa lemah di mata investor asing. Kasus ini mencerminkan fenomena "demographic paradox": populasi menua lebih cepat, dan bukan kemakmuran meningkat.
Namun, ada sisi positif: remitansi pekerja muda terampil menyentuh Rp253 triliun (USD20miliar) pada 2024, menunjukkan bahwa migran pun masih bisa memberikan kontribusi lewat brain gain.
Korelasi dengan Gelombang PHK
Gelombang PHK massal sejak 2024/2025 memperparah masalah ini. Ketika industri menyusut, lulusan muda semakin sulit mendapat kerja layak, menjadikannya "pemicu migrasi otak muda." Lingkungan kerja yang tidak stabil bahkan bisa membikin stres sosial, memperdalam alasan generasi muda memilih hengkang demi masa depan yang lebih pasti.