Saya percaya banyak di antara para pembaca yang bertanya-tanya, apa hubungannya perang antara Russia dan Ukraina yang terjadi nun jauh di Eropa sana bagi Indonesia, kan kita tidak mendengar suara bom meledak, kita tidak melihat peluru berdesing, rudal terbang melintas di atas langit Indonesia Raya, tidak melihat bangunan roboh karena dihantam rudal, tidak melihat pertumpahan darah, dan sebagainya.
Hal ini juga saya perhatikan dari orang-orang yang terdekat di lingkungan saya yang tidak peduli akan hal tersebut. Berita tentang perang di mana-mana terutama di Eropa, di Timur Tengah, bahkan di perbatasan India dan Pakistan yang lebih dekat ke Indonesia tidak menjadikan mereka tergerak untuk membahasnya.
Tetapi saya akan membahas hal tersebut, khususnya dan terutama dampak perang antara Russia dan Ukraina (yang terjadi terlebih dahulu sebelum perang di Gaza yang pecah tanggal 7 Oktober 2023), dan dampaknya secara tidak langsung terhadap Indonesia
Dua Sumber Tekanan Global
Dua dinamika global tengah menciptakan ketidakpastian yang signifikan bagi perekonomian Uni Eropa dan dunia: pertama, perang berkepanjangan antara Russia dan Ukraina; kedua, desakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, agar negara-negara anggota NATO meningkatkan anggaran militernya menjadi minimal 5% dari Produk Domestik Bruto (GDP). Keduanya memicu perubahan strategi fiskal dan alokasi sumber daya di Eropa, serta turut mengguncang investasi lintas negara, neraca perdagangan, dan kestabilan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia.
Perang Russia-Ukraina: Biaya yang Terus Membesar
Sejak meletus pada Februari 2022, perang Russia-Ukraina telah menyedot perhatian dan dana yang sangat besar dari negara-negara Eropa. Uni Eropa bukan hanya harus menyokong Ukraina secara militer dan kemanusiaan, tetapi juga menanggung beban ekonomi akibat sanksi terhadap Russia, krisis energi, serta tekanan inflasi akibat pasokan pangan dan bahan bakar yang terganggu.
Negara-negara besar seperti Jerman, Perancis, Italia, dan Polandia telah mengalokasikan miliaran euro untuk mendukung Ukraina, sekaligus memperkuat militer mereka sendiri. Misalnya, Jerman meningkatkan belanja militernya hingga lebih dari 2% dari GDP, melampaui batas minimum NATO sebelumnya. Pendanaan ini banyak bersumber dari pinjaman baru, yang dalam jangka panjang membebani anggaran negara dan meningkatkan rasio utang terhadap GDP.
Eropa sebelumnya sangat bergantung pada gas alam Russia, terutama untuk industri dan pemanas rumah tangga. Sanksi terhadap Russia dan pemutusan pasokan menyebabkan lonjakan harga energi yang drastis, yang kemudian mendorong inflasi di berbagai sektor. Bank Sentral Eropa (ECB) terpaksa menaikkan suku bunga guna menahan inflasi, yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Di sisi lain, perang juga menghambat jalur pasokan global untuk barang-barang strategis seperti gandum, pupuk, dan logam. Negara-negara Eropa harus mencari mitra dagang baru, yang sering kali lebih mahal dan kurang stabil, mengganggu struktur perdagangan internasional yang telah mapan.
Trump dan Beban Baru bagi NATO
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih dan panggung politik global membawa kekhawatiran tersendiri. Dalam kampanyenya, Trump menyatakan bahwa negara-negara NATO "tidak akan lagi bisa mengandalkan perlindungan Amerika" kecuali mereka meningkatkan anggaran militer mereka menjadi minimal 5% dari GDP. Pernyataan ini menciptakan tekanan luar biasa, terutama bagi negara-negara Eropa Barat yang secara historis menempatkan prioritas anggaran pada kesejahteraan sosial dan bukan militerisme.
Jika negara-negara NATO menuruti tuntutan Trump, maka akan terjadi pengalihan anggaran besar-besaran dari sektor sipil ke sektor pertahanan. Dalam jangka menengah, ini bisa memicu stagnasi layanan publik, pendidikan, dan infrastruktur sipil. Negara seperti Spanyol, Italia, dan Belgia yang belum mencapai 2% anggaran militer dari GDP, akan mengalami tekanan fiskal ekstrem.
Baca juga: Donald Trump, NATO dan Target 5% PDB
Dampak Terhadap Investasi dan Perdagangan Global
Perubahan alokasi anggaran dan ketegangan geopolitik mempersempit ruang fiskal dan menciptakan ketidakpastian bagi investor. Uni Eropa yang biasanya menjadi tujuan utama investasi jangka panjang, kini dilihat dengan lebih hati-hati. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk infrastruktur hijau, digitalisasi, atau energi terbarukan kini dialihkan ke pengadaan senjata dan pembangunan militer.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal ini bisa berarti berkurangnya aliran investasi asing langsung (FDI) dari Eropa. Misalnya, proyek-proyek energi bersih yang didanai oleh Jerman atau Belanda bisa tertunda atau dibatalkan. Sementara itu, nilai tukar euro yang fluktuatif dan risiko geopolitik mendorong investor Eropa untuk menarik atau menahan ekspansi bisnis mereka ke Asia Tenggara.
Dari sisi perdagangan, ekspor Indonesia ke Eropa bisa terhambat. Permintaan terhadap komoditas seperti minyak kelapa sawit, karet, dan nikel bisa melemah karena industri Eropa memperlambat produksinya. Pada saat yang sama, biaya logistik meningkat akibat kenaikan premi asuransi dan ketidakpastian jalur laut internasional.
Bagaimana Indonesia Harus Menyikapi?
Dalam menghadapi ketidakpastian global ini, Indonesia perlu mengadopsi strategi ekonomi dan diplomasi yang adaptif. Pertama, penting untuk memperluas dan memperdalam diversifikasi pasar ekspor. Ketergantungan terhadap pasar Eropa harus diimbangi dengan penguatan akses ke pasar Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin.
Kedua, Indonesia bisa mengambil peluang sebagai pusat manufaktur alternatif dan pengolahan bahan baku bagi negara-negara yang ingin memindahkan rantai pasoknya dari Eropa. Misalnya, pabrik baterai dan kendaraan listrik dapat dikembangkan dengan dukungan dari investor Asia, Timur Tengah, atau bahkan negara-negara Eropa yang ingin mengurangi risiko produksi di dalam negeri.
Ketiga, Indonesia juga harus meningkatkan kemampuan negosiasi dalam forum multilateral seperti G20 dan ASEAN+ untuk mendorong stabilitas perdagangan dan pengurangan hambatan tarif dan non-tarif. Dalam konteks geopolitik yang semakin cair, ketegasan diplomatik Indonesia dalam menjaga netralitas dan hubungan seimbang antara blok Barat dan Timur akan menjadi aset penting.
Keempat, memperkuat ketahanan ekonomi domestik menjadi kRussial. Ini mencakup reformasi fiskal yang berkelanjutan, insentif untuk hilirisasi industri, serta penguatan sistem pertanian dan energi nasional agar tidak terlalu bergantung pada pasar global yang volatile.
Dunia Baru yang Lebih Keras
Eropa sedang menghadapi dunia baru yang lebih keras dan penuh konflik. Perang di Ukraina dan kebangkitan geopolitik yang didorong oleh figur seperti Donald Trump memaksa Eropa untuk berinvestasi lebih banyak dalam militerisme, sering kali dengan mengorbankan prioritas sipil. Dampaknya menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Untuk itu, Indonesia tidak hanya perlu berjaga, tetapi juga proaktif merancang strategi nasional agar tetap stabil dan relevan di tengah dunia yang terus berubah.
======================
Catatan: Artikel ini hanya bersifat hipotesis dan disusun berdasarkan informasi dari berbagai sumber dan analisis kontemporer.
Jakarta, 24 Mei 2025
Prahasto Wahju Pamungkas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI