Di sisi lain, perang juga menghambat jalur pasokan global untuk barang-barang strategis seperti gandum, pupuk, dan logam. Negara-negara Eropa harus mencari mitra dagang baru, yang sering kali lebih mahal dan kurang stabil, mengganggu struktur perdagangan internasional yang telah mapan.
Trump dan Beban Baru bagi NATO
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih dan panggung politik global membawa kekhawatiran tersendiri. Dalam kampanyenya, Trump menyatakan bahwa negara-negara NATO "tidak akan lagi bisa mengandalkan perlindungan Amerika" kecuali mereka meningkatkan anggaran militer mereka menjadi minimal 5% dari GDP. Pernyataan ini menciptakan tekanan luar biasa, terutama bagi negara-negara Eropa Barat yang secara historis menempatkan prioritas anggaran pada kesejahteraan sosial dan bukan militerisme.
Jika negara-negara NATO menuruti tuntutan Trump, maka akan terjadi pengalihan anggaran besar-besaran dari sektor sipil ke sektor pertahanan. Dalam jangka menengah, ini bisa memicu stagnasi layanan publik, pendidikan, dan infrastruktur sipil. Negara seperti Spanyol, Italia, dan Belgia yang belum mencapai 2% anggaran militer dari GDP, akan mengalami tekanan fiskal ekstrem.
Baca juga: Donald Trump, NATO dan Target 5% PDB
Dampak Terhadap Investasi dan Perdagangan Global
Perubahan alokasi anggaran dan ketegangan geopolitik mempersempit ruang fiskal dan menciptakan ketidakpastian bagi investor. Uni Eropa yang biasanya menjadi tujuan utama investasi jangka panjang, kini dilihat dengan lebih hati-hati. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk infrastruktur hijau, digitalisasi, atau energi terbarukan kini dialihkan ke pengadaan senjata dan pembangunan militer.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal ini bisa berarti berkurangnya aliran investasi asing langsung (FDI) dari Eropa. Misalnya, proyek-proyek energi bersih yang didanai oleh Jerman atau Belanda bisa tertunda atau dibatalkan. Sementara itu, nilai tukar euro yang fluktuatif dan risiko geopolitik mendorong investor Eropa untuk menarik atau menahan ekspansi bisnis mereka ke Asia Tenggara.
Dari sisi perdagangan, ekspor Indonesia ke Eropa bisa terhambat. Permintaan terhadap komoditas seperti minyak kelapa sawit, karet, dan nikel bisa melemah karena industri Eropa memperlambat produksinya. Pada saat yang sama, biaya logistik meningkat akibat kenaikan premi asuransi dan ketidakpastian jalur laut internasional.
Bagaimana Indonesia Harus Menyikapi?
Dalam menghadapi ketidakpastian global ini, Indonesia perlu mengadopsi strategi ekonomi dan diplomasi yang adaptif. Pertama, penting untuk memperluas dan memperdalam diversifikasi pasar ekspor. Ketergantungan terhadap pasar Eropa harus diimbangi dengan penguatan akses ke pasar Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin.
Kedua, Indonesia bisa mengambil peluang sebagai pusat manufaktur alternatif dan pengolahan bahan baku bagi negara-negara yang ingin memindahkan rantai pasoknya dari Eropa. Misalnya, pabrik baterai dan kendaraan listrik dapat dikembangkan dengan dukungan dari investor Asia, Timur Tengah, atau bahkan negara-negara Eropa yang ingin mengurangi risiko produksi di dalam negeri.