Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akhirnya Sang Kayu Sempat Mengatakan Kata yang Tak Sempat Diucapkan kepada Api yang Menjadikannya Abu

29 Juli 2020   23:22 Diperbarui: 6 Agustus 2020   23:00 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aneh tidak aneh ya, tapi ini nyata, fakta, bahwa istri seorang penyair besar sekaliber Sapardi Djoko Damono tak tertarik dengan Puisi. Sementara banyak orang, orang muda maupun yang tua suka memetik bait-bait puisinya untuk gebetan mereka, pacar kekasih mereka. Atau banyak pula yang mengutipnya di dalam kartu undangan pernikahan.

Padahal puisi-puisi tersebut, misalnya puisi berjudul "Aku Ingin," Yang Fana adalah Waktu, atau "Pada Suatu Hari Nanti," adalah puisi-puisi yang dpersembahkan SDD untuk dirnya. Namun Ibu Wardinignsih lebih suka menjadi ibu rumah tangga dan mengajar Les Bahasa Inggris di rumahnya, di Depok.

Saya mengenal beliau melalui putranya, Rizki "Iko" Henriko, sahabat saya sejak SMP. Yang saya kenang dari Beliau adalah orang yang sederhana, sangat baik, lembut dan penyayang"
. . . . . . .
"Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa puisi-puisi cinta yang ditulisnya  lahir dari ruh seorang wanita yang telah setia menjadi teman hidupnya sampai sekarang ini, sudah 78 tahun. Wanita itu adalah Wardiningsih"

"Mengenal Sapardi Djoko Damono Pertama Kali"
Sebenarnya saya mengenal almarhum Prof. DR. Sapardi Djoko Damono sudah lama sekali. Bermula dari persahabatan saya dengan putra lelakinya, Almarhum Rizki Henriko Damono, atau akrab dipanggil "Iko." Saya bertemu dengan Iko sewaktu masuk SMP Negeri 1 Depok, tahun 1983. Namun kami mulai bersahabat saat duduk kelas II SMP.

Rumahnya lumayan jauh dari rumah saya, Depok 1, sementara rumahnya Iko di Depok Utara, sekitar 3-4 KM. Setiap musim libur sekolah saya sering main ke rumahnya, berjalan kaki. Waktu itu Depok awal tahun 1980-an sangat jarang transportasi umum, yang ada juga becak. Tapi kan mahal kalo naik becak untuk remaja seusia saya waktu itu.

Untuk mempersingkat waktu tempuh saya selalu melewati jalan pintas, yaitu menyeberangi TPU Jalan Jawa TPU ini juga yang menjadi peristirahatan terakhirnya Iko dan Ibunya, yang meninggal setahun yang lalu.

Rumahnya Iko memiliki paviliun disamping rumah, yang dijadikan tempat ibunya Iko  mengajar les Bahasa Inggris. Ibunya itu lulusan sastra Inggris UGM. Di paviliun itu juga tersedia meja ping pong, yang bisa digelar saat sebelum atau saat tidak dipakai dipakai buat les. Waktu mengajar les nya setiap sore. Jadi saya datang siang siang ke rumahnya agar bisa main tenis meja.

Walalupun saya sering tanding ( atau bisa dibilang latihan) tenis meja, saya tidak pernah mengalahkannya. Dari persahabatan saya dengan Iko, saya mulai mengenal keluarganya. Waktu itu saya mengenal bapaknya Iko, Pak Sapardi Djoko Damono, hanya tahu kalo bapaknya itu dosen di Universitas Indonesia.

Waktu saya belum ngerti kalau dia seorang penyair yang cukup terkenal. Setiap main ke rumahnya Iko, dan bertemu Pak Sapardi, paling salim (cium tangan), Atau ketika saya menekan bel di pagar di depan rumah, kadang-kadang Pak Sapardi yang membukakan pintu. dan ketika melihat itu saya, dia bergumam, "o Irvan," lalu dia memanggil Iko, "Iko ada Irvan nih," habis itu dia naik tangga ke lantai 2 kembali ke ruang kerjanya. Bisa dibilang gak pernah ngobrol.

Bila di rumah Pak Sapardi lebih banyak waktunya di ruang kerjanya. Selain main tenis meja, Saya ke rumahnya untuk baca majalah "Hai," membaca koran Kompas, dengerin musik dari piringan hitam, pinjam kaset musik barat (top pop, billboard) atau pinjem buku "Lima Sekawan," karangan Enid Blyton. Ibunya Iko baik banget, setiap saya main ke sana, pasti disuruh makan.

Kami pun masuk di SMA yang sama, SMA negeri 37 Jakarta. Namun waktu kelas satu kami tidak sekelas. Iko di Kelas 1-5, saya di kelas 1-9. Waktu itu Iko ngajak saya untuk pindah sekolah, pindah ke SMA 3 jakarta, tapi saya gak mau, terlalu jauh. Dia pun gak jadi pindah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun