Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Antara Wajah Bipolar atau Multipolar Politik dalam Pilpres 2019

3 Januari 2019   22:18 Diperbarui: 4 Januari 2019   01:05 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Everyday Health

Langit politik Indonesia kelam nian. Betapa tidak. Media sosial disesaki oleh pesan saling hujat antarpara pendukung. Lalu, jika peluru argumen akademis kian nihil, maka caci maki pun menjadi pilihan niscaya.

Pada situasi itulah kita kian mengerti bahwa peninggalan rejim Orde Baru memang tidak menghasilkan peradaban demokrasi, malah melahirkan sejenis keliaran dan perilaku banal.

Andaikan, rejim demokrasi tidak kuat menopang beban sejarahnya sendiri, maka bukan mustahil inilah saat paling fenomenal dari proses pemilihan Presiden yang paling uneducated. Caci maki, tipu daya, hoaks, semacam sebuah kenisacayaan peradaban.

Dikhawatirkan, jika pilar-pilar demokrasi berubah wajah menjadi sekat-sekat faksional, apalagi bila faksi-faksi ini berenergi saling meniadakan, maka mimpi menjadi Indonesia kian tipis, tetapi yang menebal ialah denasionalisasi yang kian meluas.

Memang, sejak pecahnya reformasi, energi kebinekaan yang terpendam dalam liang persembunyian begitu lama kini meletus liar tanpa kontrol peradaban bernegara yang kokoh. Pada masa lalu, rejim Orde Baru lupa, bahwa ekspresi perbedaan itu tak boleh dibendung, tetapi diatur agar unit-unit sosial tetap menjaga keunikannya melalui saluran ekspresional yang menumbuhkan peradaban.

Perhatikan, salah satu tanda paling menonjol dalam politik di Indonesia, terutama paska rejim otoritarian, ialah lahirnya partai-partai lapar, dan jamaknya jumlah aktor-aktor partai yang serakah. Jika pada rejim otoritarian jumlah partai dibatasi hanya tiga, maka pada era reformasi jumlah partai nyaris mirip jamur tumbuh di musim hujan.

Jika pada rejim otoritarian partisipasi massa diatur-atur, pada rejim reformasi partisipasi ditandai antara lain demonstrasi nan massif. Jika pada rejim otoritarian kritik sosial diatur penguasa, pada rejim reformasi kritik bebas nian meski mungkin substansi kritik asal berbeda dengan yang dikiritik untuk membedakan ciri kaum.

Karena itu, komplotan perkauman nyaris berulah melampaui wewenang Negara, pada saat bersamaan kuat terkesan Negara tunduk pada kelakuannya. Citra komplotan kaum serba menghujat dan menghasut terus menguat.

Menyebut sejumlah tokoh pembuat berisik misalnya, tak hanya serta merta memantulkan keberisikan politik, tetapi serentak dengan itu tingkah laku politik pun nyaris berseberangan dengan kekuatan-kekuatan sah Negara.

Jika pada rejim otoritarian kecenderungan demokrasi procedural melahirkan para supporter dan postur hubungan politik patron clien. Rejim reformasi politik anarkhisme beranak pinak dan cenderung chaos. 

Gejala ini muncul di sejumlah tempat, terutama Jakarta. Bahkan para suporter dungu kian liar, sambil mengusung tinggi-tinggi khas agama. Agama tidak lagi menjadi agenda sosial sebagai ekspresi relasi vertikal dengan Tuhan, tetapi agama diturunkan derajatnya menjadi instrumen vital untuk merebut kekuasaan nan fana dan dekil.

Paska pembentukan koalisi tensi keberisikan mengalir ke mana-mana, hingga terjadi penolakan gerakan komplotan ganti presiden 2019 diusir di mana-mana. Ketegangan politik pun dinodai anasir SARA. Di level lokal pun sentimen etnik cenderung menajam. Maka Pilpres tidak lagi dibaca sebagai ajang adu kekuatan program pembangunan, adu proposal membangun peradaban, tetapi tampak sebagai adu olok-olokan yang berbasis reputasi individual pengekang kendali demokratisasi.

Pada gejalanya, politik Pilpres terkesan tak lebih dari ajang adu kebodohan. Meski prestasi dan reputasi actor politik tidak mengesankan sama sekali dan nyaris tidak verpesan membuahkan kesejahteraan rakyat, tetapi toh mereka (para pemberang itu) masih sanggup untuk tidak malu menyebut diri aktor pro demokrasi.

Tahun 2018-2019, jagat politik Indonesia menjadi ajang tarung partai lapar yang jelas-jelas diperalat oleh aktor partai serakah. Lalu dagang cap massif nian, sebagaimana pernah viral di berbagai media sosial uang beredar ratusan miliar yang diduga diterima dua partai politik.

Akibatnya, partai politik, bukan lagi sebagai lembaga meditory body of democracy, melainkan sejenis Comanditer Venonschapen (CV) atau Perseroan Terbatas (PT) di tangan para gelojo dan predator demokrasi itu.

Kisah dagang cap atau bisnis stempel partai sangat lumrah. Bayar partai dan partai gemar dibayar pun tampil ke publik tanpa merasa bersalah dan tak secuil pun terungkap rasa malu ke panggung publik. Mereka mendefinisikan diri sebagai politisi dan bayar membayar itu sebagai langkah politik.

Kelakuan mereka kemudian menjadi gossip wajar dari mulut ke mulut sampai juga di pondok penggembala sapi dan peternak unggas di kampung-kampung. Bayar membayar demi mendapat kuasa dianggap lumrah, wajar dan bahkan terkesan seperti bagian dari ajaran moral.

Rakyat di kampung tahu itu. Gejala itulah yang disebut ajang adu kebodohan, adu keserakahan. Sehingga mahar partai hingga mencapai miliaran rupiah dianggap wajar.

Sejarah Patah-patah

Transisi politik dari rejim otoritarian ke reformasi seperti mengalami sejarah patah-patah. Penanda yang paling sumir tampak melalui menjamurnya partai lapar tadi, dan menjamaknya jumlah aktor partai sangat serakah. Para aktor serakah ini memanfaatkan para supporter (useful idiot), karena para useful idiot menjadi topangan utama legitimasi politiknya. Para useful ideot itu cukup meneriakkan penanda identitas. Para actor cenderung mendelegitimasi politik etik.

Maka sempurnalah sudah politik di negara ini tidak lebih dari ajang baku tipu, baku fitnah dan bahkan mungkin baku pukul. Yang keluar kemudian ialah kesan barbarisme politik dibungkus baju prodemokrasi. Pada akibatnya sejarah kontinuitas nilai-nilai demokrasi mengalami patahan sejarah yang berkeping-keping.

Barbara Geddes dalam Politician's Dilemma (1994) melihat politisi selalu sebagai aktor yang memiliki kesanggupan untuk mengelola kepentingan publik secara rasional. Penempatan politisi bertindak rasional serupa itu persis menjadi unsur pembeda antara politisi dengan bandit. 

Politisi itu akan berusaha merebut posisi karena hanya dengan demikian politisi sanggup mengerjakan hal lain yang sesuai dengan ideologi partainya. Karena itu, demikian Barbara Geddes, motif utama para politisi ialah insentif politiknya. Karena itu dalam konteks koalisi dan gejala yang kini sedang berkembang ada dua aras kepentingan yang saling berhadapan secara sangat tajam dan cenderung keras.

Di level partai, para aktor (terutama para calon legislator) mematok imajinasinya pada reelection (terpilih kembali). Imajinasi reelection itu mau tidak mau harus konsen pada jumlah suara dukungan untuk pribadi masing-masing aktor, sekaligus koleksi suara untuk partai politik. Maka yang terjadi nantinya, persaingan internal para caleg akan sangat kencang, bersamaa dengan itu mereka masih harus diwajibkan untuk mengalahkan partai lain pada Pemilu 2019. 

Serentak dengan itu, pemimpin partai politik ingin mencapai atau memaksimalkan kekuasaan partai dan kekuasaan dirinya pribadi di dalam partai. Karena itu imajinasi bipolar politik menuntun mereka bekerja dalam skema reelection sekaligus memastikan perolehan suara untuk memenuhi tuntutan parliament threshold minimal 4%.

Partai-partai baru dan kecil, tentu saja, cenderung merasa nyaman pada penggabungan politik dengan petahana Jokowi, karena narasi politiknya relatif lebih gampang dibanding dengan imajinasi pembentukan koalisi baru. 

Sedangkan pada koalisi Prabowo, para legislator partai-partai itu berusaha sekuat tenaga untuk membangun narasi yang cocok, sehingga gejala yang terjadi di panggung media massa dan sosial ialah drama gonta ganti isu politik. 

Motif utama dari penyebaran isu politik etnik, agama dan ideologi pro asing terhadap Jokowi yang dipompa sedemikian rupa, sesungguhnya hanya untuk mendapatkan kesan rakyat bahwa benar Jokowi buruk secara empirik. Lalu, ketika Jokowi berbicara serial fakta fisik keberhasilannya, kubu Prabowo menarik Jokowi untuk debat ekonomi.

Di level Presiden Jokowi sendiri, setiap unit kekuasaan dimaksimalkan sedemikian rupa untuk memastikan insentif politik demi kepentingan reelection juga. Karena itu segala upaya dikerjakan untuk memaksimalkan kekuasaan politiknya, baik ke dalam unit partai politik maupun ke dalam unit birokrasi eksekutif. 

Sehingga pada gejalanya, pergantian menteri bermasalah harus diisi oleh aktor dari partai politik yang sekiranya mendapatkan insentif politik atau sekurang-kurangnya tidak mengganggu kemesraan koalisi. 

Pada akibatnya, imajinasi untuk menempatkan kaum profesional di level menteri patut ditunda. Maka sesungguhnya yang tampak kemudian politik tidak lagi berwajah bipolar, melainkan multipolar.

Barbara Geddes beri nasihat. Meski politik bipolar atau multipolar tampak menguat dalam Pilpres, tetapi politisi harus selalu cermat dan rasional untuk menentukan sikap-sikap politiknya. Politisi yang baik adalah politisi yang mengerti kepentingan konstituen (rakyat pemilih/voters) dan partai politik tempat dari mana mereka bersarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun