Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Antara Wajah Bipolar atau Multipolar Politik dalam Pilpres 2019

3 Januari 2019   22:18 Diperbarui: 4 Januari 2019   01:05 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Everyday Health

Politisi itu akan berusaha merebut posisi karena hanya dengan demikian politisi sanggup mengerjakan hal lain yang sesuai dengan ideologi partainya. Karena itu, demikian Barbara Geddes, motif utama para politisi ialah insentif politiknya. Karena itu dalam konteks koalisi dan gejala yang kini sedang berkembang ada dua aras kepentingan yang saling berhadapan secara sangat tajam dan cenderung keras.

Di level partai, para aktor (terutama para calon legislator) mematok imajinasinya pada reelection (terpilih kembali). Imajinasi reelection itu mau tidak mau harus konsen pada jumlah suara dukungan untuk pribadi masing-masing aktor, sekaligus koleksi suara untuk partai politik. Maka yang terjadi nantinya, persaingan internal para caleg akan sangat kencang, bersamaa dengan itu mereka masih harus diwajibkan untuk mengalahkan partai lain pada Pemilu 2019. 

Serentak dengan itu, pemimpin partai politik ingin mencapai atau memaksimalkan kekuasaan partai dan kekuasaan dirinya pribadi di dalam partai. Karena itu imajinasi bipolar politik menuntun mereka bekerja dalam skema reelection sekaligus memastikan perolehan suara untuk memenuhi tuntutan parliament threshold minimal 4%.

Partai-partai baru dan kecil, tentu saja, cenderung merasa nyaman pada penggabungan politik dengan petahana Jokowi, karena narasi politiknya relatif lebih gampang dibanding dengan imajinasi pembentukan koalisi baru. 

Sedangkan pada koalisi Prabowo, para legislator partai-partai itu berusaha sekuat tenaga untuk membangun narasi yang cocok, sehingga gejala yang terjadi di panggung media massa dan sosial ialah drama gonta ganti isu politik. 

Motif utama dari penyebaran isu politik etnik, agama dan ideologi pro asing terhadap Jokowi yang dipompa sedemikian rupa, sesungguhnya hanya untuk mendapatkan kesan rakyat bahwa benar Jokowi buruk secara empirik. Lalu, ketika Jokowi berbicara serial fakta fisik keberhasilannya, kubu Prabowo menarik Jokowi untuk debat ekonomi.

Di level Presiden Jokowi sendiri, setiap unit kekuasaan dimaksimalkan sedemikian rupa untuk memastikan insentif politik demi kepentingan reelection juga. Karena itu segala upaya dikerjakan untuk memaksimalkan kekuasaan politiknya, baik ke dalam unit partai politik maupun ke dalam unit birokrasi eksekutif. 

Sehingga pada gejalanya, pergantian menteri bermasalah harus diisi oleh aktor dari partai politik yang sekiranya mendapatkan insentif politik atau sekurang-kurangnya tidak mengganggu kemesraan koalisi. 

Pada akibatnya, imajinasi untuk menempatkan kaum profesional di level menteri patut ditunda. Maka sesungguhnya yang tampak kemudian politik tidak lagi berwajah bipolar, melainkan multipolar.

Barbara Geddes beri nasihat. Meski politik bipolar atau multipolar tampak menguat dalam Pilpres, tetapi politisi harus selalu cermat dan rasional untuk menentukan sikap-sikap politiknya. Politisi yang baik adalah politisi yang mengerti kepentingan konstituen (rakyat pemilih/voters) dan partai politik tempat dari mana mereka bersarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun