"Maaf, Yah. Ibu hanya masih merasa sedikit belum ikhlas dengan hak kita yang mereka ambil," ucap ibu dengan nada seperti menahan amarah.
Sedikit paham aku dengan apa yang dimaksud ibu. Entah salah apa sampai banyak saudara ibu yang tidak suka dengan keluarga kami.
"Emang kenapa sih, Yah. Ibu sama om Sarton kok gak akur?" tanyaku pada ayah tiga bulan lalu saat kami menanam kacang yang sekarang sedang dipanen.
"Sebenarnya kebun kita ini batasnya dari pohon besar itu, nak," Ayah menunjuk salah satu pohon besar di sana, "tapi dengan senang hati mereka ambil tanah kita sampai hampir tiga meter dari batas yang seharusnya," lanjutnya.
Aku memperhatikan pohon besar yang ditunjuk ayah yang memang sudah masuk ke bagian tanah mereka.
Bahkan parahnya, ada satu pohon kelapa yang ayah tanam dulu sudah masuk di tanah yang mereka ambil itu.
Sebenarnya bukan masalah banyak atau sedikit milik kami yang dirampas oleh mereka, kita hanya sedang berbicara masalah akhlak tidak terpuji yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nanti.
"Kok ayah sama ibu gak marah?" tanyaku penasaran.
"Ibu kamu sebenarnya gak terima tapi ayah malas berdebat. Jadi ayah bujuk ibu agar membiarkannya saja," jelas ayah, "sejak saat itu ayah putuskan untuk buat pagar keliling biar gak digeser-geser lagi batasnya," sambungnya.
"Oh... jadi gitu ceritanya," ucapku mengangguk ngangguk. Meskipun aku yakin ada masalah yang lebih besar lagi dari itu.
"Suatu saat nanti, Insya Allah Lili jadi orang yang sukses. Ayah cuma mau pesan satu hal, Lili gak boleh ngambil punya orang lain apalagi sampai merampasnya dengan paksa, ya Nak! Meskipun itu hanya sebungkus permen sekalipun." pesan ayah padaku saat itu, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk mengganti topik perbincangan ke arah mimpiku yang ingin kuliah.