Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Kartini RTC] Indo' Se'pon

20 April 2015   21:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1429539314530644988

(Pical Gadi No. 27)

Matahari mengintip malu-malu dari balik bebukitan Sassa’. Kabut masih menggantung di atap-atap rumah tongkonan.  Udara pun terasa beku.

Saat sebagian orang masih menikmati puncak mimpi dibalik hangatnya selimut, atau menyesap kopi panas mengepul ditemani penganan ringan, beberapa orang lainnya sudah larut dengan derap irama kehidupan.

Salah satunya adalah indo’ Se’pon, begitu warga kampung memanggilnya.

Di ujung pagi, wanita penghujung 40 tahun ini sudah berpeluh-peluh menuruni kaki-kaki bukit. Kepalanya sedang menahan beban berkilo-kilo sayuran dalam bakul yang menggelayut di punggungnya. Kol, labu siam dan tomat yang mengintip dari dalam bakul adalah hasil kebun yang akan dibawanya ke Pasar Makale untuk ditukar dengan lembaran rupiah penyambung hidup.

Pasar Makale hanya akan ramai pada hari-hari tertentu, bergiliran dengan pasar tradisional di kampung lain. Setiap hari pasar tiba, Indo’ Se’pon akan berjalan menerobos perkampungan menuju ke jalan poros sebelum menumpang mobil angkutan ke pasar. Dia harus beranjak lebih awal agar tidak kesiangan sampai di pasar nanti. Perjalanan dari rumah ke jalan poros bisa memakan waktu dua jam lamanya. Bukannya tidak ada alternatif transportasi, dengan membayar Rp 15.000, sampai Rp 20.000,- sudah ada ojek yang siap mengantar sampai ke tujuan. Tapi Indo’ Se’pon selalu memilih berjalan kaki agar uang tersebut bisa diselamatkan untuk kebutuhan lain yang lebih penting.

*****

Dua belas tahun lalu, suami Indo’ Se’pon meninggal dunia karena kecelakaan di Makassar. Almarhum yang hanya pegawai biasa di kantor kelurahan tidak meninggalkan banyak warisan selain sepetak ladang, rumah mungil dan beberapa ekor ternak babi. Sementara itu ada dua orang anak yang harus dibesarkan. Untunglah Indo’ Se’pon adalah wanita tegar dan penuh tanggungjawab. Dengan bertanam sayur dan beternak babi, dia mampu berjibaku menafkahi keluarganya.

Saat ini anak pertama, Ririn, sudah menginjak semester empat pada salah satu perguruan tinggi di Makassar. Sementara si bungsu, Anton, sudah duduk di kelas tiga SMP. Sekalipun cuma tamat SMP,  Indo’ Se’pon selalu berusaha keras agar semua anaknya bisa mengecap pendidikan setinggi-tingginya.

*****

Matahari yang meninggi telah menguapkan kabut-kabut yang menyelimuti lembah.

Indo’ Se’pon masih harus menempuh perjalanan sekitar tiga kilometer lagi sebelum sampai ke jalan poros. Mendadak dia merasa lututnya bergetar, perut keruyukan dan kepala pening. Di rumah tadi memang hanya sempat mengganjal perut dengan segelas kopi hitam.

Dengan jemari dia mengelap satu dua butir keringat di atas pelupuk matanya. Indo’ Se’pon sudah biasa menahan lapar, namun sepertinya kali ini rasa lapar hampir mengalahkannya. Kendati demikian dia tetap berusaha membalas tegur sapa warga yang ditemuinya ditemuinya di sepanjang jalan kampung.

Di dekat jalan poros ada kios kecil kepunyaan Ambe’ Poli. Mereka sudah akrab karena saban hari pasar, Indo’ Se’pon selalu singgah untuk membeli air mineral gelas atau sepotong roti guna mengganjal perut.

Setelah berjalan puluhan menit, Indo’ Se’pon sampai di kios tersebut. Dia kini sudah benar-benar kelaparan. Setelah meletakkan bakul sayurnya di tanah, dia lalu mengamat-amati rak roti yang setengah kosong. Saat itu kios tampak lengang. Ambe’ Poli mungkin sedang ke belakang sebentar.

Tiba-tiba sebuah tangan terulur. Ada sekantong roti dengan kemasan yang lebih mewah.

“Pasti tae ma’sarapan komi??” suara lembut yang sangat dikenalnya menyusup di telinganya.

Indo’ Sepon berbalik. Pupil matanya melebar pertanda terkejut sekaligus senang,

“Eh, lasule komi??”

Cewek pemberi roti mengangguk senang lalu menerjang indo’ Se’pon dengan pelukan hangat. Indo’ Se’pon pun membalas tak kalah hangatnya. Rasa laparnya sirna seketika dalam pelukan putri tercintanya itu.  Dia tahu Ririn, memang akan liburan kuliah.

“Kenapa tidak bilang-bilang dulu mau pulang hari ini?” ucap Indo’ Se’pon saat melepas pelukannya.

“Sengaja, mau kasih kejutan untuk mama…,” sahut Ririn dengan senyum menggoda. “Ini roti Boy kesukaan mama… dimakan dulu, saya lihat tadi mama pucat sekali.”

“Mama tidak apa-apa. Eh, jam berapa tadi sampai? Kenapa tidak langsung ke atas saja?”

“Tadi busnya agak lambat, sampai jam enam lewat sedikit….. Saya sengaja tunggu mama, sekalian ikut ke pasar juga. Nanti pulangnya baru sama-sama,”

“Eh, tidak usah, kamu pasti capek. Cari saja ojek sampai ke atas…, tas kamu juga mau taruh dimana?”

“Tidak apa, mama. Saya sudah titip tas di dalam kios ambe’ Poli… sebentar disinggahi sekalian,..”

Indo’ Se’pon pun menggeleng-geleng sambil tersenyum melihat kegigihan putrinya.

Tak lama kemudian ibu dan anak itu sudah berada dalam angkutan yang akan mengantar mereka ke pasar Makale. Mata Indo’ Se’pon nampak bersinar bahagia.

________________________________

Gambar dari Rumpies the Club

Indo’ Se’pon=Ibu Se’pon
Tae ma’sarapan komi=Pasti tidak sarapan lagi
Lasule komi?=Kamu pulang ya?
Ambe’ Poli=Bapak Poli
Istilah “naik ke atas” di Toraja bisa juga diartikan sebagai menuju atau pulang ke kampung. Banyak perkampungan di Toraja yang terletak di atas bebukitan sehingga muncul istilah tersebut.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun