Seorang profesor senior sahabat saya, yang melahirkan dan mengasuh sebuah kampus dan kini termasuk kampus sukses di daerahnya, pernah menuturkan kisah yang mengesankan sekaligus mengundang perenungan. Ia mendirikan program-program unik seperti Vokasi Teknik Konstruksi dan magister Hukum Konstruksi. Program ini tidak mungkin berjalan dengan mutu tinggi bila ia tidak terlibat langsung sebagai dosen. Para profesor dari King’s College London dan Tianjin University bersedia datang mengajar tanpa bayaran, bukan karena nama institusi, melainkan karena nilai persahabatan akademik yang ia bangun selama puluhan tahun.
Ia berkata kepada saya, “Bayangkan jika aturan melarang mengajar hanya karena saya pembina yayasan. Program ini jelas tidak akan pernah ada.”
Kisah itu mencerminkan problem serius dari Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 3 Tahun 2021 tentang Larangan Rangkap Jabatan Organ Yayasan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Di dalam surat edaran itu tercantum bahwa pembina, pengurus, dan pengawas yayasan dilarang merangkap sebagai pimpinan, dosen, maupun pegawai perguruan tinggi yang dikelola yayasan.
SE Bukan Produk Hukum Formal
Di sinilah letak masalahnya. Surat Edaran (SE) bukanlah produk hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Ia hanya bersifat administratif, tidak bisa menambah larangan yang tidak ada dalam undang-undang.
Sementara itu, UU Yayasan hanya melarang organ yayasan merangkap jabatan dalam badan usaha yang dikelola yayasan, bukan di perguruan tinggi. Dengan kata lain, SE 3/2021 memperluas larangan melebihi mandat undang-undang.
Permendikbudristek No. 63 Tahun 2025 sebagai regulasi resmi tentang dosen tidak mengenal larangan semacam itu. Regulasi ini hanya membedakan dosen tetap, dosen tidak tetap, dan non-dosen. Tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan bahwa status sebagai pembina yayasan otomatis membuat seseorang tidak boleh menjadi dosen.
Risiko Kebijakan yang Terlalu Jauh
Jika SE ini masih dijalankan secara kaku, risikonya sangat nyata: