Sejauh ingatan saya, pertama kali mengenal puisi Chairil Anwar saat berada di bangku kelas 3 atau 4 Sekolah Dasar. Puisinya sering jadi referensi dalam pelajaran Bahasa Indonesia bersama puisi-puisi karya penyair besar tanah air lainnya seperti T.S Bachtiar. Perkenalan pertama adalah puisi berjudul Karawang-Bekasi, kalau tidak salah ingat.
Wajah puisi di mata anak SD tentu saja masih samar-samar. Pikiran bocah yang polos seperti kertas putih yang belum diisi banyak gurat-gurat kehidupan belum bisa memberi interpretasi sepenuhnya pada puisi karya penyair kelahiran Medan, 29 Juli, 100 tahun yang lalu tersebut.
Yang saya tahu, puisi-puisi karya Chairil Anwar kebanyakan bertema perjuangan. Untuk membantu visualisasi puisinya, saya menghubungkan puisi dengan film-film perjuangan yang populer saat itu seperti misalnya Janur Kuning dan sebagainya.
Seiring waktu, puisi-puisi karya Chairil Anwar semakin kerap ditemui terutama saat pelajaran Bahasa Indonesia. Saya pun berkenalan dengan puisi-puisi populer yang lain seperti misalnya Nisan, Sia-sia, Aku.
Dan ternyata puisi-puisinya tidak selalu bertema perjuangan. Ada juga sisi-sisi romansa seorang Chairil Anwar seperti yang bisa kita temukan pada puisi bertajuk Cintaku Jauh di Pulau atau Senja di Pelabuhan Kecil.
Bahkan ada puisi bertema religius seperti pada puisi berjudul Isa dan Doa.
Nah, kita akan menyelami secara khusus puisi yang terakhir ini, Doa. Demikian sajak selengkapnya.
Doa
Kepada pemeluk teguh,
Tuhanku
Dalam termangu