Demikian interpretasi saya terhadap puisi Doa ini.
Konon, puisi ini ditulis sehari setelah Chairil Anwar menulis puisi Isa. Jadi memang bisa disimpulkan, untuk mengejawantahkan isi kepala dan hati menjadi sajak-sajak yang dahsyat, seorang penyair kadang harus melewati rangkaian permenungan spiritualitas yang melintasi sekat-sekat dogma.
Lewat puisi Doa ini kita juga disodori perspektif lain dari sebuah doa. Bagaimana cara kita berdoa selama ini? Apakah saat meminta sesuatu kita ngotot-ngototan dengan Tuhan atau kita berlaku seperti seorang negosiator?
Aku akan memberi A asal Tuhan memberi B.
Lewat puisi Doa, Chairil Anwar memberi perspektif lain dalam berdoa yaitu menegaskan kembali kelemahan kita di hadapan Sang Mahakuasa dan membuka diri selebar-lebarnya untuk menerima dan menjalankan rencana-rencana-Nya. (PG)