"Setiap orang pernah berbuat salah, Nduk. Kamu melakukan semuanya bukan karena kamu salah, tapi kamu marah dengan keadaan. Kamu marah dengan bapakmu, kamu marah dengan Tuhanmu. Ibu tidak anti dengan orang bersalah, Nduk. Ibu itu bukan Tuhan, ibu hanya manusia biasa"
"Apa Ibu bangga punya menantu seperti saya, apa yang membuat ibu berkata seperti itu tadi?"
"Tidak selamanya orang itu salah dan tidak selamanya orang itu benar, Nduk. Semua melakukan dengan alasan, Ibu sudah bilang kalau Ibu tidak anti dengan kesalahan. Tapi, itu bukan berarti tidak belajar dari kesalahan. Sekarang, kau sendiri adalah seorang ibu. Kau akan mendidik anak dan lebih dari itu, kau akan menjadi dunia pertama baginya,"
Ibu Ana kemudian memeluk Mety dengan lembut, ia menatap wajah Mety yang cantik, bahkan tanpa make up.
 "Ibu, kenapa perempuan harus selalu dibungkam dan disalahkan ya. Kenapa suaraku sebagai perempuan sering tidak didengarkan," Mety mulai menceritakan kegelisahannya.
"Itulah perempuan, Nduk. Tapi, apakah kau punya maaf untuk bapakmu?"
Mety menangis, tepat ketika kata bapak terdengar di telinganya. Kata yang membuatnya berjalan dalam kegamangan kehidupan, bahkan dengan gunjingan dan sindiran perempuan tidak jelas. Itu semua karena kemarahannya pada bapak, pada laki-laki.
 "Sudah, tenangkan dirimu, Nduk. Semua akan menemukan keadilannya masing-masing, kita bukan Tuhan, laki-laki juga bukan Tuhan. Lakukan sebaik kita bisa, Nduk. Ibu berdoa yang terbaik untuk kehidupanmu dengan Agus. Hanya itu yang bisa aku lakukan sebagai orang tuamu, Nduk."
Ia turut menitikkan air mata dan memeluk Mety semakin erat. Mungkin ada banyak perasaan yang tidak terjelaskan. Namun, mereka sama-sama perempuan. Ada resonasi tersendiri. Sebelum terlambat larut dalam kesedihan, Ibu Ana perlahan mengucapkan.
"Agus itu juga lahir di luar penikahan, Nduk. Jadi, ketika aku mendengar ceritamu, aku seperti melihat masa laluku,"
Mereka menangis bersama, sebagai perempuan yang dikatakan tidak jelas orang masyarakat.