Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Esais dan Esai yang Terakhir

24 November 2022   19:20 Diperbarui: 24 November 2022   19:36 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Bualan yang ramai ketika menulis dan menghasilkan karya tiba-tiba diam seolah tidak terjadi apa-apa. Yudha hanya diam. Aku tahu, kalau diriku bukan orang yang paham soal tulisan dan bagaimana tulisan biar enak untuk dibaca. Bisa juga, aku tidak mengetahui apa yang diinginkan banyak orang dari tulisan.

Tapi, pembuktian dari Yudha setidaknya menjadi pembelajaran bahwa untuk bisa menjadi penulis harus menulis, bukannya diam. Atau diamnya Yudha menjadi persiapan pembuktian ? Entahlah. Aku tidak tahu.

***

"Aku tidak terbiasa membuka HP untuk membaca tulisan yang panjang. Nanti saja bagaimana, kalau tulisan esaimu dalam buku yang rapi dan sampul menggemaskan. Aku pasti akan baca dan membeli dengan senang," jawabku ketika Yudha memberi tahu bahwa tulisannya sudah dikumpulkan dalam laman, tentu hanya bisa dibaca melalui HP ketika terhubung ke internet. Tentu aku malas, mata yang kian minus ini kujaga supaya tidak lama dalam menatap layar.

"Baiklah, tapi aku ini esais. Esaiku sudah ada di banyak media lokal, bahkan ada yang di majalah internasional," jawab Yudha membela dirinya, bahwa ia seorang penulis.

Tentu aku semakin geram mendengarnya. Baru saja menulis di laman, bisa juga itu cuma dari tulisan orang lain. Kenapa ia begitu bangga, aku tidak meremehkan. Tapi bualannya kali ini soal laman sungguh menyebalkan. Hingga, waktu berganti bulan. Kami bertemu lagi di angkringan. Kebetulan Yudha datang duluan, ia mempersiapkan selembar koran dan minuman.

"Ini ada cerpenku dan esai sastra tulisanku dimuat di koran lokal. Kalau yang ini, ada puisiku dimuat Koran Ibu Kota," sapa Yudha dengan menunjukkan koran yang dibawanya. Entah benar atau tidak, aku malas menanggapinya.

"Itu baru sekali dimuat bukan. Memangnya apa kelebihan koran, kita membayar saja nanti bisa dituliskan. Belum tentu seperti itu bisa membuat dirimu pantas disebut sebagai penulis, apalagi esais. Ayolah, coba menulis buku. Aku akan membaca dengan seksama kalau dari buku, kalau cuma koran saja, itu membaca sambil lalu," jawabku sambil memunguti gorengan dan sendok untuk makan nasi kucing. Aku lapar sekali selepas mengajar siang itu.

***

Hari terus berlalu, Yudha masih berkoar-koar kalau dia seorang penulis, bahkan ketika mengenal laman media sosial, semuanya dipenuhi tulisan bahwa dia seorang esais. Kadang ini menyebalkan, tapi aku semakin tertantang untuk meminta pembuktian darinya. 

Buku, sebuah buku akan menjadi pembuktian yang cukup meyakinkan dibandingan banyak ungkapan tanpa bukti. Yudha sepertinya merasakan sindiranku, ketidaksenanganku karena mengkritiknya. Maklum, penulis memang idealis bukan, ada hal yang tidak bisa diganggu. Aku menyebutnya penulis karena menulis cerita soal dirinya sendiri, bahkan dengan tidak menghasilkan karya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun