Ketika berdiskusi tentang birokrasi, biasanya yang muncul adalah soal aturan, sistem, struktur jabatan, dan proses administratif lainnya. Seringkali kita mengabaikan unsur yang lebih mendalam, yaitu memahami birokrasi dari aspek "jiwa sosial" yang membentuk birokrasi. Di sinilah, kita bisa membedah birokrasi dengan menggunakan salah satu pendekatan dalam psikologi, yaitu psikoanalitik yang dikembangkan oleh salah satu tokoh psikologi, Carl Gustav Jung, lebih sering disebut juga dengan Jung. Dalam teorinya, Jung mengenalkan konsep ketidaksadaran kolektif. Pendekatan ini dapat membantu kita untuk memahami bahwa di balik wajah birokrasi yang kita lihat selama ini, ada narasi simbolik dan luka sejarah yang terus diwariskan tanpa disadari.
Siapa Carl Gustav Jung?
Carl Gustav Jung (1875--1961) adalah seorang psikiater dan psikoanalik asal Swiss. Ia adalah murid Sigmund Freud, salah satu tokoh pencetus psikoanalisis dalam ilmu psikologi. Meskipun demikian, Ia berbeda jalan pandang dengan Freud setelah menyadari bahwa manusia tidak hanya digerakkan oleh dorongan seksual dan agresif, seperti yang Freud tekankan dalam teori psikoanalisisnya. Jung melihat manusia sebagai makhluk spiritual dan simbolik yang memiliki kedalaman jiwa yang jauh lebih luas (Semiun, 2017).
Jung mengembangkan pendekatan psikologi analitik (psikoanalitik), yang berfokus pada pencarian makna, simbol, dan struktur bawah sadar dalam diri manusia. Ia memperkenalkan konsep ketidaksadaran personal yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman diri manusia sejak lahir. Lebih dari itu, Ia memperkenalkan konsep ketidaksadaran kolektif yang ikut membentuk kepribadian dan perilaku manusia, yang bersifat turun temurun diturunkan dari nenek moyang kita. Di dalam ketidaksadaran kolektif ini terdapat archetypes (arketip) yang membentuknya, terdiri dari berbagai konsep penting seperti persona (topeng sosial), shadow (bayang-bayang sisi gelap diri yang ditolak), anima-animus (unsur feminin dan maskulin dalam jiwa), wise old man / great mother (ibu agung), dan terakhir self (diri sejati).
Apa Itu Ketidaksadaran Kolektif?
Ketidaksadaran kolektif adalah bagian dari jiwa manusia yang sangat dalam dan tidak disadari oleh pikiran sadar kita. Berbeda dengan pengalaman pribadi yang kita sadari dan ingat, ketidaksadaran kolektif berisi pola-pola dasar yang diwariskan sejak zaman nenek moyang kita. Pola-pola ini tidak dipelajari dari sekolah atau keluarga, tapi sudah ada sejak kita lahir, dan dimiliki bersama oleh semua manusia, apa pun suku, bangsa, atau zamannya.
Carl Gustav Jung menyebut pola-pola ini sebagai archetypes (Jung, 1969). Archetypes adalah semacam cetakan jiwa manusia yang sering kali muncul dalam bentuk tokoh-tokoh simbolik, dan menempati pada lapisan-lapisan ketidaksadaran kolektif, seperti:
- Raja atau Penguasa, mewakili otoritas, pemimpin yang dihormati, sering kali tidak boleh dibantah.
- Bayangan (Shadow), sisi gelap dari diri kita atau kelompok, yang sering kita tolak atau sembunyikan.
- Pahlawan, simbol perjuangan dan harapan untuk memperbaiki keadaan.
- Penipu (Trickster), si cerdik atau nakal yang kadang membuat kekacauan, tapi juga membuka jalan bagi perubahan.
Contoh sederhananya, saat seseorang merasa takut berbicara di hadapan atasan meskipun tahu apa yang benar, bisa jadi itu bukan hanya soal keberanian, tapi karena secara bawah sadar ia melihat atasannya seperti "raja" yang tidak boleh dilawan. Atau saat banyak orang diam dan membiarkan kesalahan terjadi demi menjaga keharmonisan, bisa jadi itu pengaruh dari shadow kolektif yang menekan dorongan untuk jujur.
Dalam sejarah Indonesia, archetypes ini tampak jelas membentuk struktur dan bangunan birokrasi, tetapi sering kali diabaikan. Di masa kerajaan, raja dianggap titisan dewa, perintahnya adalah suara Tuhan dan rakyat tidak berhak bertanya (Fitriana, 2019). Di masa penjajahan, rakyat diajari untuk patuh tanpa suara. Berlanjut di masa orde baru dimana masyarakat tidak leluasa untuk bicara. Semua ini menanamkan pola ketakutan dan kepatuhan menjadi sebuah ketidaksadaran kolektif birokrasi yang kini masih terasa dan terlihat dalam perilaku birokrasi.
Jadi, ketidaksadaran kolektif adalah semacam warisan jiwa yang diturunkan secara turun temurun yang membentuk cara kita berpikir dan bertindak, bahkan tanpa kita sadari. Dalam konteks birokrasi, warisan ini bisa sangat kuat memengaruhi kehidupan bernegara, terbentuk sejak era kerajaan sampai dengan era reformasi saat ini, dan mewarnai perilaku organisasi pemerintah, disebut juga birokrasi.
Bagaimana Psikoanalitik Jungian Relevan untuk Birokrasi?