Psikoanalitik membantu kita membaca birokrasi sebagai ruang simbolik dan struktural yang mengandung makna-makna tak kasat mata. Relasi atasan bawahan, penggunaan atribut dan simbol jabatan, mekanisme reward and punishment, serta ritual formal dalam birokrasi (apel, serah terima jabatan, pelantikan), semua bisa dibaca sebagai ekspresi dari archetypes-archetypes atau simbol-simbol ketidaksadara kolektif tertentu, seperti Raja, Abdi, Birokrat Ideal, atau bahkan Penipu dan Pahlawan Gagal.
Maka, psikoanalitik menawarkan pemahaman alternatif yang lebih dalam tentang birokrasi. Bahwa beberapa kegagalan reformasi bukan karena kurangnya niat atau kapasitas teknis, melainkan karena kita belum menyentuh akar psikis dalam ketidaksadaran kolektif yang membentuk pola perilaku birokrasi selama ratusan tahun. Tanpa mengenali ketidaksadaran kolektif ini, reformasi hanya akan menjadi pengulangan bentuk baru dari pola lama.
Pendekatan ini mengajak kita untuk:
- Menggali dan menyadari struktur jiwa kolektif birokrasi, bukan hanya memperbaiki sistemnya.
- Mengenali archetypes-archetypes yang hidup dalam ruang birokrasi dan bagaimana ia membentuk perilaku ASN.
- Menghadapi bayangan masa lalu yang selama ini direpresi, agar bisa diintegrasikan secara sadar.
- Membangun identitas baru birokrasi, bukan sebagai pewaris trauma sejarah, tapi sebagai subjek yang sadar dan transformatif.
Dengan menyadari bahwa birokrasi adalah cerminan jiwa kolektif bangsa, maka perubahan tidak hanya terjadi di permukaan, tetapi menyentuh sampai ke akar psikisnya.
Archetypes dalam Jiwa Birokrasi Indonesia
Untuk memperjelas bagaimana ketidaksadaran kolektif membentuk birokrasi, berikut adalah contoh beberapa archetypes utama yang hidup dalam sistem birokrasi Indonesia:
1. Raja / Penguasa
Simbol otoritas absolut. Dalam birokrasi, archetypes ini tampak pada figur atasan yang dihormati tanpa syarat, kadang tidak boleh disanggah. Dalam sejarah, raja-raja seperti Hayam Wuruk atau Sultan Agung digambarkan sebagai pemimpin mutlak, dan pola itu masih hidup dalam hubungan atasan-bawahan.
2. Topeng (Persona)
Topeng sosial yang dikenakan untuk bertahan. Banyak ASN menampilkan citra profesional dan loyal, meskipun dalam batin mengalami tekanan atau konflik nilai. Ini mirip dengan pegawai bumiputra era kolonial Belanda yang harus tampil "beradab" di depan penguasa, meski hatinya menolak.
3. Bayang-Bayang Gelap (Shadow)