Birokrasi sendiri merupakan hal yang netral, rasional, dan teknokratis. Namun pada kenyataannya, ia adalah sistem sosial tempat manusia berinteraksi dalam struktur kekuasaan, norma, dan simbol. Ini menjadikannya subjek yang relevan untuk dianalisa menggunakan pendekatan psikoanalitik, khususnya dengan pendekatan ketidaksadaran kolektif.
Dalam birokrasi Indonesia, kita bisa melihat:
- Relasi atasan-bawahan yang cenderung vertikal dan paternalistik, merefleksikan archetypes Raja dan Abdi.
- Budaya diam dan rasa takut salah, yang menunjukkan dominasi shadow kolektif akibat trauma sejarah terhadap kekuasaan.
- Ketergantungan pada simbol jabatan dan status, yang merupakan bentuk persona institusional, atau sebuah topeng sosial yang wajib dipakai birokrat agar dapat bertahan.
Dengan memahami birokrasi melalui kacamata psikoanalitik, kita bisa melihat birokrasi dengan pandangan yang berbeda dan lebih mendalam. Kita mampu melihat bahwa banyak perilaku birokrasi saat ini yang dipengaruhi oleh ketidaksadaran kolektif nasional yang terbentuk ratusan tahun di Nusantara. Dengan pemahaman tersebut, kita dapat melihat dengan sudut pandang dan pemahaman yang berbeda saat melihat perilaku birokrat. Bahwa itu tidak hanya merupakan wujud dari perilaku "sadar" birokrat, tetapi juga manifestasi dari  struktur batin kolektif yang membentuknya, yang juga disebut dengan ketidaksadaran kolektif birokrasi.
Ketidaksadaran Kolektif dalam Sejarah Birokrasi Indonesia
Sejarah birokrasi Indonesia tidak lepas dari akar kekuasaan kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Sriwijaya, Mataram, Demak, dan Padjadjaran. Dalam sistem kerajaan, birokrasi adalah perpanjangan tangan raja. Loyalitas adalah kepada pribadi, bukan pada aturan tertulis. Kepatuhan total adalah norma. Struktur ini membentuk pola psikis masyarakat, yaitu kekuasaan adalah sakral, kritik adalah penghinaan.
Ketika Belanda datang dan menjajah selama lebih dari 300 tahun, mereka tidak membongkar struktur psikis ini, melainkan memanfaatkannya. Pemerintah kolonial memperkuat birokrasi sebagai alat kontrol, memperkenalkan sistem pemerintahan yang kaku dan berjenjang, memperluas budaya taat tanpa tanya. Ini memperdalam ketidaksadaran kolektif tentang hubungan antara kekuasaan dan rasa takut.
Pada saat kemerdekaan dan setelahnya, harapan akan kebebasan muncul. Namun di masa Orde Baru, ketundukan kembali dihidupkan dan dijadikan norma. Kritik dibungkam, loyalitas kepada penguasa dikuatkan, dan birokrasi dibentuk untuk menjadi alat stabilitas politik (Eddyono, 2021). Banyak ASN hidup dalam ketegangan antara kesetiaan dan ketulusan. Di sinilah persona birokrasi terbentuk, tampak rapi dan loyal di luar, namun menyimpan kebingungan, represi psikis, dan bisa jadi kekosongan makna di dalam.
Mengapa Psikoanalitik?
Untuk memahami birokrasi secara mendalam, kita perlu lebih dari sekadar pendekatan manajerial atau struktural. Di sinilah teori psikoanalitik menjadi relevan sebagai sudut pandang lain dalam memahami birokrasi secara penuh. Teori psikoanalitik, khususnya dari Carl Gustav Jung, berfokus pada lapisan terdalam dari jiwa manusia, baik individu (personal) maupun kolektif (sosial). Dalam kerangka ini, perilaku manusia tidak hanya didorong oleh kesadaran logis, tetapi juga oleh kekuatan tak sadar yang membentuk persepsi, tindakan, bahkan pola sosial yang berulang.
Jung memperkenalkan konsep ketidaksadaran kolektif, yaitu warisan psikologis yang diturunkan dari generasi ke generasi dan membentuk struktur bawah sadar seluruh umat manusia. Berbeda dengan ketidaksadaran personal (yang dibentuk oleh pengalaman individu), ketidaksadaran kolektif bersifat universal dan muncul dalam bentuk pola-pola purba yang disebut archetypes (Jung, 1969). Pola ini tidak selalu disadari secara langsung, tetapi muncul dalam mimpi, mitos, tradisi, dan yang penting dalam konteks pembahasan kita, perilaku kelembagaan dalam sebuah birokrasi Indonesia.
Dalam konteks birokrasi Indonesia, teori ini membantu kita memahami mengapa pola-pola tertentu tetap muncul meskipun struktur telah diperbarui. Misalnya, budaya diam dan takut salah dapat dilihat sebagai manifestasi dari shadow kolektif yang terbentuk akibat pengalaman historis panjang tentang represi, dominasi kekuasaan, dan hierarki absolut. Ketika kekuasaan masa lalu mengakar dalam struktur kerajaan, dilanjutkan oleh kolonialisme, dan diperkuat oleh otoritarianisme modern, maka terbentuklah struktur psikis birokrasi yang sulit diubah dengan hanya peraturan administratif. Contoh lainnya adalah budaya dan perilaku koruptif maupun nepotisme yang bisa jadi menjadi bagian dari shadow yang terus coba ditekan dan ditekan (represi) ke dalam ketidaksadaran kolektif. Karena letaknya ada di ketidaksadaran kolektif, terkadang individu menunjukkan perilaku itu secara tidak sadar, dan dianggap biasa saja sehingga tetap muncul dalam perilaku masyarakat maupun birokrasi, meskipun banyak yang menyangkal.