Pendidikan Indonesia mengalami berbagai perubahan demi perubahan, baik perubahan dalam hal kurikulum ataupun dalam hal lain. Sama halnya dengan kondisi masyarakat secara umum, bidang pendidikan saat ini masih cenderung mengalami kebingungan dalam menentukan arah dan tujuannya. Hal tersebut bukan tanpa sebab, latar belakang masyarakat yang heterogen juga merupakan salah satu tantangan besar bagi pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan pada bidang pendidikan kita.
Kondisi masyarakat indonesia yang heterogen, menjadi tantangan tersendiri dalam membuat suatu sistem pendidikan yang tepat dan bisa diterima semua latar belakang masyarakat. Sehingga, ketika peserta didik selesai menempuh perjalanan pendidikannya dia akan menjadi manusia yang berkembang secara utuh, bukan justru menjadi manusia yang seragam dan dituntut menjadi sama dengan manusia yang lain. Oleh sebab itu, perlu perumusan kebijakan pendidikan yang hati-hati dengan harapan bisa menghasilkan kebijakan yang tepat dan sesuai untuk semua golongan serta karakter masyarakat Indonesia sehingga tidak menimbulkan adanya kekerasan simbolik.
Apa yang Dimaksud dengan Kekerasan Simbolik?
Istilah kekerasan sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Namun, kebanyakan orang seringkali hanya memaknainya sebagai tindakan fisik. Padahal, terdapat bentuk kekerasan lain yang lebih seringkali tidak disadari, yaitu kekerasan simbolik. Berbeda dengan kekerasan fisik yang dapat terlihat secara nyata, kekerasan simbolik seringkali berlangsung tanpa disadari baik oleh pelaku maupun pihak yang menjadi korban.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog asal Prancis. Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik merupakan mekanisme yang digunakan kelompok dominan (kelas atas) untuk mempertahankan pengaruhnya dalam struktur sosial. Mereka melakukannya dengan cara memaksakan ideologi, budaya, kebiasaan, serta gaya hidup kepada kelompok yang berada pada posisi subordinat (kelas bawah). Proses pemaksaan ini kemudian disebut sebagai habitus.
Habitus membuat kelompok yang didominasi cenderung menerima, menjalani, bahkan menormalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang berasal dari kelompok dominan. Bourdieu menegaskan bahwa habitus ini paling sering ditanamkan melalui institusi pendidikan.
Habitus sebagai Sarana Kekerasan Simbolik dalam Dunia Pendidikan
Mekanisme penyebaran habitus biasanya terjadi secara tidak disadari oleh masyarakat. Salah satu arena utama penyebaran tersebut adalah lembaga pendidikan. Sekolah sebagai institusi formal berfungsi bukan hanya sebagai tempat mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai wadah sosialisasi nilai, norma, budaya, dan kebiasaan tertentu. Dalam konteks ini, habitus yang ada pada dunia pendidikan dapat menjadikan kekerasan simbolik yang ada di sekolah menjadi semakin langgeng dan tidak mudah diidentifikasi keberadaannya.
Contoh sederhana dapat dilihat dari aturan berpakaian di sekolah. Tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya dan ekonomi peserta didik, sekolah mewajibkan semua murid mengenakan pakaian yang seragam. Praktik ini tampak wajar, tetapi dibaliknya terdapat mekanisme penyamarataan yang mengabaikan keragaman latar belakang peserta didik. Bertameng kepatuhan dan kedisiplinan, peserta didik yang berasal dari berbagai latar belakang diarahkan untuk mengenakan seragam yang sama meskipun untuk sebagian peserta didik seragam tersebut tidak mencerminkan karakter asli ataupun latar belakangnya. Bayangkan jika siswa yang berasal dari keluarga berlatar belakang sebagai petani dan mempunyai cita-cita menjadi seorang petani modern yang professional dipaksa menggunakan sepatu dan dasi yang nilai estetikanya akan hilang jika sudah terkena sedikit kotoran.
Kasus diatas mungkin hanya contoh kasus yang bisa saja dibantah dengan alasan kedisiplinan. Meskipun menurut penulis, kedisiplinan bukan berasal dari paksaan dan penyeragaman, kedisiplinan yang tepat adalah kedisiplinan yang berasal dari kesadaran tiap individu. Namun, wujud kekerasan simbolik bukan hanya itu saja. Wujud kekerasan simbolik yang lain juga bisa disebabkan karna perbedaan modal sosial dan modal budaya dari masing-masing peserta didik.
Modal sosial adalah kumpulan sumber daya yang dimiliki seseorang melalui jaringan sosialnya. Modal sosial bisa terlihat dalam dua bentuk. Pertama, bentuk praktis, yaitu hubungan yang tidak terlalu terikat seperti pertemanan. Kedua, bentuk terlembaga, yaitu keanggotaan dalam kelompok yang lebih terikat seperti keluarga, suku, atau sekolah. Sementara itu, modal budaya adalah kemampuan atau keterampilan yang dimiliki individu, misalnya sikap, cara berbicara, penampilan, hingga cara bergaul. Bourdieu menyebutnya sebagai selera budaya dan pola konsumsi seseorang