Mohon tunggu...
Pecandu Sastra
Pecandu Sastra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jurnalis dan Penulis

Freelance || Writer || Reading || Cofee || Sampaikanlah Kebenaran Dengan Pemahaman Orang Banyak || Manjadda wa Jada || E-Mail: pecandusastra96@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bawah Ridho Abah | Sebuah Cerpen Islami

8 Juli 2023   20:09 Diperbarui: 8 Juli 2023   20:19 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Google

Setiap lantunan ayat suci yang Bang Alwi bacakan menggetarkan hatiku sampai ke lubuk yang paling dalam. Kabut menebal menutupi kelopak mata, berlinang, menggumpal membentuk kristal, hingga tak mampu aku tampung. Isak tangis memecah sunyi siang itu, tak henti mengucap syukur kepada-Nya.

Sepekan, setelah pernikahanku dengan Bang Alwi. Kami memutuskan untuk kembali ke kota sebab Bang Alwi masih punya tanggungjawab di pesantren tempat ia mengabdi serta persiapan wisuda tahfiz qur'an 30 juz.

Sejak hari itu aku dan Bang Alwi menjalin kehidupan baru dalam bingkai rumah tangga di kota. Kami menyewa sebuah rumah yang tak jauh dari pesantren agar mempermudah Bang Alwi untuk mengabdi, sengaja kami memilih untuk tidak tinggal di pesantren agar terbiasa mandiri.

Waktu berlalu, hari demi hari kami lalui penuh suka cita. Pahit, asam, manisnya kehidupan telah terbiasa kami lalui. Hingga hadirlah Azura buah hati pertama sebagai pelengkap keluarga kecil kami, lalu menyusul Adiba, dan Alif sebagai buah hati kedua dan ketiga.

Seiring berjalannya waktu, aku tidak lagi memanggil Bang Alwi dengan sebutan abang, melainkan abah. Hal itu agar anak-anak juga terbiasa dengan sebutan itu.

Suatu ketika Abah pulang dari pesantren larut malam, tak biasa beliau sampai larut begini. "Ada rapat penting yang dibahas," tutur abah menenangkan diriku sembari mengecup keningku.


Aku tersipu malu, rona merah jambu mulai mewarnai pipi yang kian berseri. Meski status kami suami istri namun kasih sayang dan perhatian abah selalu menjadikan hatiku dag dig dug bagai jatuh cinta pertama.

Malam itu kian larut, setelah berendam di air hangat yang telah aku siapkan, abah memintaku untuk dibuatkan secangkir kopi, beliau membawa kabar baik untuk kami yang juga menjadi hal terberat bagiku.

"Dik. Kau akan menjadi Ibu Nyai, tak hanya menjadi umi bagi anak-anak kita juga anak lain yang akan kita didik nantinya?" tutur abah memberitahuku.

Aku sontak kaget mendengar hal itu. Apakah abah hendak menjadikan anak-anak orang diluar sana sebagai anak angkatnya?

"Abah hendak mengangkat anak orang?" tanyaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun