Raka tersenyum hambar. "Mau belajar, Pak. Tentu, kalau diizinkan."
"Wartawan harus diizinkan oleh rakyat," gurau Pak Wirya. "Besok panjat pinang. Kau akan lihat anak-anak ini memanjat langit." Ia menepuk-nepuk sampul buku. "Dan semoga langit berkenan."
"Buku apa itu, Pak?" tanya Raka.
"Riwayat lomba," jawabnya ringan. "Data peserta, hadiah, biaya, hitungan panitia. Kau tahu aku ini akuntan gagal," canda Pak Wirya. "Semua harus tercatat."
Sari menatap buku itu, lalu ke wajah Raka. Ada kecemasan halus yang menari di mata mereka berdua. Raka menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Ia akan punya waktu.
Malamnya, Raka tidur di rumah almarhum eyangnya yang kini kosong. Suara latihan paduan suara dari balai desa merambat lewat jendela. Dalam gelap, Raka memejam, tetapi suara lain menyelinap: tawa anak-anak, jeritan pendek, dentum tubuh jatuh. Ia membuka mata. Di langit-langit, bayangan trembesi menggambar peta.
Ia bangun, duduk di lantai. Di ponselnya, ia membuka folder foto lama yang entah mengapa selalu ia bawa tiap ganti ponsel. Foto Deni di bawah batang pinang, dengan senyum yang baru tumbuh kumis. Raka menatap lama, lalu berbisik, "Maaf. Aku terlambat mengerti."
Di luar, angin melempar bau tanah basah. Ada langkah pelan melewati pagar. Raka menahan napas. Langkah itu berhenti sejenak, lalu berjalan lagi. Pesta, pikirnya, selalu mengumpulkan orang---dan sesuatu yang bukan orang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI