Raka tiba ketika matahari condong ke barat, menyayat punggung sawah dengan garis-garis emas. Bus antarkota menurunkannya di mulut desa Tegalireng, di depan warung biru yang dulu menjual es lilin. Warungnya masih ada, tapi pemiliknya sudah berganti. Nun jauh, di alun-alun kecil, spanduk merah-putih terbentang: DIRGAHAYU RI KE-80. Tahun delapan puluh. Waktu, pikir Raka, suka berlari dengan sepatu kempes: bunyinya pelan, tapi tahu-tahu kau jauh tertinggal.
"Mas Raka?" suara perempuan memecah lamun. Sari, rambutnya disanggul seadanya, menatap dengan senyum yang membuat matanya mengecil.
"Eh, Sari! Kau jadi bidan beneran, ya?"
"Sudah dua tahun. Kamu pulang liputan?"
Raka mengangkat ransel. "Liputan, iya. Sekalian... ya, lihat-lihat."
Sari menatap spanduk di kejauhan, lalu kembali ke Raka. "Kamu masih ingat, kan, tujuhbelasan yang..."
"Yang Deni jatuh dari panjat pinang," potong Raka. Nama itu seperti pasir di gigi. "Iya. Aku ingat."
Deni, sepupu Raka. Dua belas tahun lalu. Mereka ikut memeriahkan acara: Deni memanjat, Raka memotret dengan kamera butut. Puncak tawa berubah jerit saat batang licin itu memantulkan tubuh Deni ke tanah. Orang bilang itu apes. Orang lain bilang itu "imbal".
Sari menepuk pelan lengan Raka. "Maaf, aku cuma... ya, kau pasti punya alasan pulang pas tujuhbelasan lagi."
"Aku ingin menulis tentang tradisi ini," kata Raka. "Tentang ramai-ramai yang sebenarnya menambal sesuatu."
Mereka menyusuri jalan tanah yang kini disemen tipis. Anak-anak mengejar sepeda hias, remaja menata panggung. Dari kejauhan, terdengar suara toa: "Panitia mengundang Ketua RT untuk briefing jam enam sore!". Di bawah trembesi besar, lelaki tua bersarung duduk bersender pada akar yang menusuk tanah seperti jari gemuk. Mak Tumi. Ia mengunyah sirih, bibirnya merah, matanya memantulkan sore.
"Mak," sapa Sari sopan.
"Bidan kecil," gumam Mak Tumi, suaranya serak tapi jernih. "Dan kawanmu wartawan." Ia menatap Raka lama-lama. "Kau kembali. Ada yang belum selesai."
Raka ingin tertawa, tapi tenggorokannya kering. "Apa yang belum selesai, Mak?"
"Riuh harus bayar. Selalu begitu," kata Mak Tumi, seolah menjawab pertanyaan yang berbeda. "Kalian rajin tertawa. Tapi tawa butuh lantai."
"Lantai?" Raka mengerutkan kening.
"Lantai," ulang Mak Tumi. Ia menunjuk tanah. "Ada yang dipasangi ubin, ada yang pakai tubuh."
Sari menghela napas pendek. "Mak, jangan nakut-nakutin orang. Ini mau pesta."
"Pesta," kata Mak Tumi. "Pesta itu padi yang dipanen. Siapa yang menebar benihnya?" Ia bangkit pelan, menyisakan bekas sirih di tanah, lalu berjalan tertatih ke arah tugu kecil bercat putih di pinggir alun-alun. Di bawah tulisan 17-8-45, ada papan bertuliskan: "HADIAH UTAMA PANJAT PINANG: KULKAS BARU, TV LED, SEPEDA GUNUNG."
Raka menelan ludah. Hadiah-hadiah selalu ada, tapi tahun ini lebih mewah. Sumber dana? Sponsor? Ia memandangi logo UMKM lokal, toko bangunan Pak Wirya, koperasi desa. Nama terakhir itu mengingatkannya pada orang yang ingin sekali ia temui.
Pak Wirya muncul seperti jawaban. Rambutnya kini putih bersih, tetapi tubuhnya tegap. Ia menggenggam buku catatan bersampul cokelat yang tampak tua, diikat karet.
"Raka!" serunya ramah. "Wartawan kebanggaan Tegalireng! Mau meliput?"
Raka tersenyum hambar. "Mau belajar, Pak. Tentu, kalau diizinkan."
"Wartawan harus diizinkan oleh rakyat," gurau Pak Wirya. "Besok panjat pinang. Kau akan lihat anak-anak ini memanjat langit." Ia menepuk-nepuk sampul buku. "Dan semoga langit berkenan."
"Buku apa itu, Pak?" tanya Raka.
"Riwayat lomba," jawabnya ringan. "Data peserta, hadiah, biaya, hitungan panitia. Kau tahu aku ini akuntan gagal," canda Pak Wirya. "Semua harus tercatat."
Sari menatap buku itu, lalu ke wajah Raka. Ada kecemasan halus yang menari di mata mereka berdua. Raka menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Ia akan punya waktu.
Malamnya, Raka tidur di rumah almarhum eyangnya yang kini kosong. Suara latihan paduan suara dari balai desa merambat lewat jendela. Dalam gelap, Raka memejam, tetapi suara lain menyelinap: tawa anak-anak, jeritan pendek, dentum tubuh jatuh. Ia membuka mata. Di langit-langit, bayangan trembesi menggambar peta.
Ia bangun, duduk di lantai. Di ponselnya, ia membuka folder foto lama yang entah mengapa selalu ia bawa tiap ganti ponsel. Foto Deni di bawah batang pinang, dengan senyum yang baru tumbuh kumis. Raka menatap lama, lalu berbisik, "Maaf. Aku terlambat mengerti."
Di luar, angin melempar bau tanah basah. Ada langkah pelan melewati pagar. Raka menahan napas. Langkah itu berhenti sejenak, lalu berjalan lagi. Pesta, pikirnya, selalu mengumpulkan orang---dan sesuatu yang bukan orang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI