"Mak," sapa Sari sopan.
"Bidan kecil," gumam Mak Tumi, suaranya serak tapi jernih. "Dan kawanmu wartawan." Ia menatap Raka lama-lama. "Kau kembali. Ada yang belum selesai."
Raka ingin tertawa, tapi tenggorokannya kering. "Apa yang belum selesai, Mak?"
"Riuh harus bayar. Selalu begitu," kata Mak Tumi, seolah menjawab pertanyaan yang berbeda. "Kalian rajin tertawa. Tapi tawa butuh lantai."
"Lantai?" Raka mengerutkan kening.
"Lantai," ulang Mak Tumi. Ia menunjuk tanah. "Ada yang dipasangi ubin, ada yang pakai tubuh."
Sari menghela napas pendek. "Mak, jangan nakut-nakutin orang. Ini mau pesta."
"Pesta," kata Mak Tumi. "Pesta itu padi yang dipanen. Siapa yang menebar benihnya?" Ia bangkit pelan, menyisakan bekas sirih di tanah, lalu berjalan tertatih ke arah tugu kecil bercat putih di pinggir alun-alun. Di bawah tulisan 17-8-45, ada papan bertuliskan: "HADIAH UTAMA PANJAT PINANG: KULKAS BARU, TV LED, SEPEDA GUNUNG."
Raka menelan ludah. Hadiah-hadiah selalu ada, tapi tahun ini lebih mewah. Sumber dana? Sponsor? Ia memandangi logo UMKM lokal, toko bangunan Pak Wirya, koperasi desa. Nama terakhir itu mengingatkannya pada orang yang ingin sekali ia temui.
Pak Wirya muncul seperti jawaban. Rambutnya kini putih bersih, tetapi tubuhnya tegap. Ia menggenggam buku catatan bersampul cokelat yang tampak tua, diikat karet.
"Raka!" serunya ramah. "Wartawan kebanggaan Tegalireng! Mau meliput?"