Jika gagasan Nichols kita tarik ke konteks Indonesia, fenomenanya sangat terasa. Indonesia berada di era di mana banjir informasi tidak lagi diimbangi dengan literasi kritis. Media sosial menjadi arena utama pembentukan opini publik, namun sayangnya banyak diwarnai hoaks, misinformasi, hingga ujaran kebencian.
Beberapa contoh nyata dapat kita lihat: (1) Isu kesehatan publik. Di masa pandemi COVID-19, banyak masyarakat Indonesia yang lebih percaya pada informasi dari grup WhatsApp atau YouTube ketimbang penjelasan dokter, epidemiolog, dan tenaga kesehatan. (2) Politik elektoral. Dalam kontestasi politik, fakta dari pakar hukum, ekonom, atau akademisi sering kali kalah oleh narasi emosional, propaganda politik, atau  jargon populis yang viral. (3) Kebijakan publik. Perdebatan soal Ibu Kota Nusantara (IKN), isu lingkungan, atau tambang di Papua sering kali terjebak pada polarisasi politik, sementara suara para ahli tata kota, ekolog, atau sosiolog justru tenggelam. (4) Budaya akademik. Ada kecenderungan sebagian masyarakat memandang bahwa gelar atau posisi tidak menjamin otoritas ilmiah, sehingga para pakar harus terus "berkompetisi" dengan para seleb media sosial dalam ruang publik.
Tantangan dan Jalan Keluar
Fenomena "The Death of Expertise" di Indonesia adalah alarm keras. Jika dibiarkan, kebijakan publik akan semakin rentan diambil bukan berdasarkan keilmuan, tetapi karena tekanan opini massa. Beberapa langkah yang dapat dipikirkan antara lain: (1) Menguatkan literasi sains dan data. Pendidikan publik harus menekankan keterampilan memilah informasi, bukan sekadar menghafal pengetahuan. (2) Menghubungkan kembali pakar dengan masyarakat. Para akademisi dan profesional perlu lebih aktif hadir dalam ruang publik, dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. (3) Etika media dan tanggung jawab digital. Media arus utama dan platform digital harus lebih tegas melawan hoaks dan memberi ruang lebih luas pada suara pakar. (4) Budaya rendah hati intelektual. Pakar juga perlu menyadari keterbatasannya. Seperti Nichols tekankan, ahli tetap bisa salah, namun perbedaan mendasar adalah ahli memiliki metode untuk mengoreksi kesalahannya, sementara opini awam sering berhenti pada klaim personal.
Penutup
Tom Nichols melalui The Death of Expertise (Oxford University Press, 2017) telah memberikan cermin bagi dunia, termasuk Indonesia. Matinya keahlian bukanlah sekadar persoalan akademis, melainkan ancaman nyata bagi demokrasi dan pembangunan bangsa. Di tengah derasnya arus informasi, Indonesia membutuhkan budaya publik yang kembali menghargai pakar, tanpa kehilangan kemampuan kritis terhadap mereka.
Pada akhirnya, menghormati keahlian bukan berarti menutup ruang demokrasi, tetapi justru memastikan bahwa demokrasi berjalan dengan landasan pengetahuan yang kokoh, bukan sekadar suara bising dari ruang maya.
______
Tom Nichols, The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters (New York: Oxford University Press, 2017), 61.
Nichols, The Death of Expertise, 132.
Ibid., 144.