Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Luhut, Said Didu, dan Duit

9 April 2020   18:27 Diperbarui: 9 April 2020   18:24 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Luhut, Said Didu, dan Duit

Cukup panas, selain mengenai covid, adalah saling-silang pendapat antara Luhut dengan Said Didu. Lumayan seru ketika Luhut mau  menuntut Didu dan dijawab dengan surat klarifikasi, karena tanpa permintaan maaf, maka tetap akan dilanjutkan ke pengadilan. Sampai "taruhan" dengan Kompasia-ner sangat lama tidak lagi nulis Mike Reyssent, akankah ada pernyataan maaf.

Sebenarnya masih terlalu dini akan sampai meja hijau, melihat reputasi berpolitik elit bangsa ini, yang dengan mudah mengatakan maaf dan khilaf ketika sudah mentok. Surat klarifikasi ini pun masih sebatas uji coba, benar akan ke mana muaranya. Masih ada waktu dan kemungkinan besar pun permintaan maaf.

Kritik dan Tudingan Personal

Asal muasal permasalahan ini adalah adanya pernyataan mengenai dana ibukota baru dan dana penanggulangan covid. Kritik akan berbicara, jika dana untuk persiapan ibukota baru dialihkan untuk penanganan covid jauh lebih baik. Dari pada membesarkan hutang yang ada.

Bandingkan dengan pemerintah tidak memprioritaskan masalah kesejahteraan namun mengejar legacy. Ada penyebutan nama, yang ngotot agar menteri keuangan tidak  "mengganggu" dana untuk pembangunan IKN baru.

Kritik itu menunjukkan masalah dan kalau ada peluang solusi, jika tidak bisa memberikan sebuah alternatif solusi, ya minimal memang ada persoalan. Setuju bahwa baik jika mengatakan dana IKN bisa dialihkan untuk penanganan covid. Titik, berhenti. Masalah adalah ketika menuding nama, dan itu bisa benar bisa salah.

Ketika nama yang dituding itu benar atau salah, mau menerima atau tidak. Ini adalah ranah hukum. Penyebutan nama dengan tendesius sangat mungkin bisa menjadi bumerang. Benar saja bisa menjadi masalah, apalagi masih dalam ranah abu-abu.

Kritik dan konsistensi

Ini juga bisa memberikan gambaran benar melakukan kritik atau malah sebuah dalam istilah Presiden Jokowi nyinyir. Nyinyir itu cenderung tuduhan waton sulaya, tidak ada masukan berarti, asal berbeda dengan pemerintah atau opisisi misalnya. Konsistensi dalam menyuarakan kebenaran, bukan hanya karena ia tidak ada di dalam lingkaran yang sama.

Pelaku-pelaku demikian bisa kog diraba. Mengapa bicara seperti ini, rekam jejak dengan mudah dilihat dan dirunut ke belakang dengan gampang dan cepat. Titik tolak ukur itu sederhana, menjelang kampanye, menjelang pengumuman kabinet, dan ketika ada isu apapun itu. Bagaimana suara, pernyataan, dan pemikiran mereka itu. Apakah konsisten, tendensius, atau malah saling tabrak.

Sederhana, bukan saja elit, ada relawan, SJW, dan pelaku media sosial yang demikian juga. Bagaimana masa menjelang kampanye pemikiran mereka, ketika kemenangan atau masa pengumuman, dan ketika kabinet dan adanya peluang masuk KSP atau komisaris di BUMN. Mereka kelihatan warnanya. Mana yang konsisten, mana yang menjadi marah, dan atau menjadi galak luar biasa.

Konsistensi dalam melakukan kritik untuk segala kepentingan dan pemerintah jelas baik dan bagus. Namun ketika mendadak galak atau mendadak gagu, lha ini tanda tanya gede. Ada apa, dan cek saja tulisan atau pernyataannya.

Klarifikasi.

Jika memang tidak salah, mengapa beri klarifikasi. Bagus hadapi di meja hijau, biar untuk pembelajaran bersama.   Dan klarifikasinya pun nadanya masih sama. Setuju, dan benar, bahwa covid harus mejadi prioritas, namun toh mengapa harus menuding orang. Itu masalah.

Persoalan permintaan maaf memang bukan ranah bertata negara. Itu adalah personal yang tidak akan menjadi pembenar dalam tertib hukum sebenarnya. Lanjutkan saja ke meja hijau. Jika demikian, biarkan hakim yang menilai itu kritik atau malah fitnah.

Sering orang dengan mudah menulis, memposting, mempublish, atau menyatakan ini dan itu dengan tanpa dasar. Dan ketika ditangkap polisi ada berbedaan, elit akan menuding lanjutan pemerintah otoriter dan anti kritik. Padahal jelas kritik dan fitnah jelas jauh berbeda.

Level akar rumput, biasanya akan mengaku khilaf, bukan itu maksudnya, dan sejenisnya. Tidak mau bertanggung jawab dan menyalahkan pihak lain. Miris  pola kinerja dan pola pikir mereka.

Kelas menengah biasanya akan mengaku kalau akunnya dibajak. Tidak merasa bersalah atas kesalahannya namun malah melebar ke mana-mana dan lagi-lagi ujungnya biar dilupakan.  Toh sama saja dari ketiga tingkatan, abai akan tanggung jawab.

Bagus jika Luhut melanjutkan ini menjadi kasus hukum. Mengapa? Biar ada keteladanan, sikap bertanggung jawab dan memberikan contoh semua ada akibat yang perlu dipertanggungjawabkan, bukan asal bicara. Atau juga jika memang Said ternyata benar di mata hakim, pejabat juga bisa salah dan perlu memperbaiki diri.

Pesimis, banyak pihak yang merasa semua akan berakhir seperti yang sudah-sudah, terlupakan demikian saja. Padahal penting adanya sikap bertanggung jawab. Siapa benar dan siapa salah. Penyelesaian politik sering tidak memberikan dampak baik bagi tertib hidup bersama.

Contoh dan keteladanan buruk, ketika orang bisa seenaknya berbicara tanpa dasar bagi siapa saja. Tidak perlu  bagi presiden atau pejabat tinggi, bicara sembarangan dan tidak berdasar bagi pihak lain perlu dikurangi. Mengerikan, ketika bangga sebagai negera religius, namun mulutnya bisa seenaknya bicara, kadang tanpa dasar lagi.

Miris lagi, jika semua bisa diselesaikan dengan uang. Bagaimana sering kita hadapi semua diselesaikan dengan uang. Kapan bisa menjadi lebih baik hidup bersama sebagai negara, jika menyelesaikan masalah dengan membuat masalah dan tidak menangani akar persoalannya.

Melupakan, mengharapkan akan berlalu, apalagi jika malah menjerumuskan pihak lain, bukan martabat bangsa yang besar. Perilaku kanak-kanak yang memalukan dengan jargon bangsa yang berbudi dan beragama.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun