"Ya, saya orang Indonesia," jawabku menimpali dengan bahasa Inggris. Ibu itu seketika tersenyum senang. Ia segera menuju ke arahku.
"Kau menjatuhkan dompetmu, Nduk," kini ia menggunakan bahasa Indonesia yang fasih.
"Ibu dari Indonesia?"
"Aku dulunya tinggal di Madiun," mendengarnya, timbul kegembiraan di hatiku. "Sewaktu bekerja di Jakarta, aku bertemu jodohku dan kami menikah sudah tiga puluh tahun. Aku di Belanda ini ya kira-kira sudah 25 tahun. Begitu, Nduk."
Aku mengangguk-angguk. Rasa-rasanya aku senasib dengan beliau. "Suami Ibu orang Belanda?" Beliau menggeleng.
"Orang Padang. Tetapi, dia awalnya mendapat pekerjaan di Universiteit Leiden. Hal yang membuat kami pindah ke sini. Setelah dia pensiun, dia ikut-ikut temannya membuka rumah makan Padang," ia lalu menepuk-nepuk bahuku dengan lembut, "Mampirlah ke rumah makan kami, Nduk," ia berhenti dari jalannya yang sedikit tertatih-tatih pelan. "Tempatnya di sekitar Amsterdam sini. Untukmu aku berikan harga khusus yang lebih murah dengan porsi sesukamu" beliau mengerling. Tampak cantik di usianya yang sudah senja.
Aku menceritakan pertemuanku dengan Ibu Nora tadi siang dengan suamiku ketika kami tengah makan malam. Sepiring omelet dengan toping irisan bakso dan sosis juga irisan cabe merah dan bawang putih. Kami menyantapnya dengan nasi putih yang mengepul hangat, dan sepertinya Jeff menyukainya.
(bersambung)