Mohon tunggu...
Igniz Patristiane
Igniz Patristiane Mohon Tunggu... -

kerja, kuliah, me-time. perpaduan dari legitnya seduhan panas vanilla latte dengan topping whipped cream pada pagi hari yang dingin. dengan menulis di waktu senggang serasa menikmati roti bakar selai nanas dengan taburan keju bagiku :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kehidupan Baru

7 Agustus 2016   12:21 Diperbarui: 7 Agustus 2016   12:32 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan menumpang Garuda, aku terbang sampai ke sini. Sebuah kota yang asing dan panas. Atau, karena ini masih summer. Udaranya kering, dan angin yang bertiupan mampu memporakporandakan rambutku yang sebenarnya sudah kuikat ekor kuda. Suami yang menikahiku empat bulan yang lalu di sebuah gedung kesenian di kota asalku menghimbau agar aku selalu memakai sepatu boot.

Suamiku bernama Jeff, seorang karyawan berusia 33 yang bekerja di pabrik farmasi dengan jabatan sales manager. Kesibukannya memasarkan produk membuatnya sering bepergian dari satu kota ke kota, bahkan antarnegara. Dia sibuk bekerja di setiap tempat yang dia kunjungi tetapi akhirnya berhasil mendapatkan istri ketika bertugas di Indonesia. Di sebuah kota yang ada di pulau Jawa, tepatnya daerah Jawa Tengah, Solo.

Kami berkenalan di dalam bus tranjogja yang sama-sama membawa kami ke Candi Prambanan. Waktu itu aku bersama ketiga temanku baru saja bersilahturahmi ke keluarga salah satu dari kami yang tinggal di Kota Jogja. Selama lebih dari dua jam bercengkerama, kami memutuskan mengunjungi Candi Prambanan sebelum pulang ke Solo. Tujuannya hanya satu, untuk mencari latar belakang foto yang apik untuk dipamerkan di facebook.

Saat itulah sejarah membawaku ke pelukan Jeff sekarang ini. Andai aku tidak memutuskan untuk meluangkan waktu satu jam saja ke Prambanan hanya untuk berfoto-foto saat itu, aku tidak akan menghabiskan sisa usiaku di kota ini. Amsterdam.

"Kausudah memutuskan mau makan apa pagi ini?" Jeff masuk di sisi kiri mobil setelah menutupkan pintu mobil sebelah kanan, di mana ada aku duduk di situ sebagai penumpang. Di Indonesia aku menyetir di sebelah kanan, seperti semua orang yang ada di sana. 

"Pancake," jawabku singkat. Sudah dua minggu aku di sini dan aku mulai sedikit frustrasi karena tidak menemukan nasi liwet.


"Baiklah," Jeff mulai melajukan mobilnya ke tikungan jalan besar.

Sepanjang jalan banyak orang naik sepeda, dan seperti itulah yang Jeff sedang dan akan terus biasakan kepadaku. Meskipun angka pencurian sepeda di sini cukup bengkak, namun semua orang terbiasa dengan transportasi itu. Kali ini kami memang menggunakan mobil karena Jeff membawa banyak produk-produk farmasi di kursi belakang, dan semua itu akan dititipkan ke beberapa apotek yang nantinya akan kami lewati selesai sarapan.

Aku seorang wanita berusia 22 tahun dan baru saja mendapatkan gelar sarjanaku dari fakultas ekonomi sebuah universitas negeri di Solo. Aku kira, setelah wisuda aku akan mendapatkan pekerjaan, mungkin di bank sebagai akuntan atau bisa jadi audit officer di sebuah kantor pajak yang kuidamkan di Jakarta. Nyatanya, secepat kilat aku menemukan rasa cinta pada seorang pria bule yang kutemui di bus transjogja. Bila seseorang menjadi aku, mungkin dia akan melepaskan rasa ini dan membiarkannya larut menghampa seiring berjalannya waktu. Yang penting bekerja demi masa depan dulu. Hey, ini era emansipasi, bukan. Hanya saja, kedua orang tuaku senang sekali mengetahui mereka akhirnya dapat melihatku bersanding di pelaminan dengan seorang pria sempurna. Paling tidak bagi pandangan mereka. Hingga mereka yang teramat bahagia bersedia merayakan hari pernikahanku dengan meriah, mengundang ratusan tamu yang membuatku dan Jeff kebanjiran rangkaian bunga ucapan selamat, bahkan membayar mahal grup akustik dan penari-penari yang menyuguhi tamu dengan hiburan-hiburan ketika mereka menikmati hidangan banyu mili.

Tidak. Aku rasanya ingin menggeleng kencang. Menghilangkan pemikiran egois di kepalaku. Ini tidak sepenuhnya karena kehendak orang tuaku. Toh, menjadi warga baru di Belanda bukan suatu kesalahan. Aku telah mencintai Jeff sejak pandang pertama dan ini mukjizat karena dia juga merasakan hal yang sama. Atau, dalam hati kecilku sedikit sentimen, mengatakan karena Jeff memang sedang mencari istri di usianya yang sudah kepala tiga.

"Sampai," Jeff menghentikan deru mesin mobilnya. Ia buru-buru turun dari mobilnya.

"Biar aku buka sendiri pintunya, Dear," ucapku. "Aku belum membawa beban berat." Apalagi, aku memang masih belum hamil.

Pancake yang kupesan terhidang di mejaku, tampil dengan tiga tumpukan yang rapi dan topping madu dan irisan stroberi. Jeff memilih roti sandwich dengan patat yang banyak. Patat itu french fries. Atau, apa ya namanya, oh, mudahnya kentang goreng. Jeff suka sekali satu pincuk patat yang diberi lumuran saus keju. Selain patat, makanan yang disukai Jeff adalah herring. Aku pernah sekali menjilat sajian ikan mentah yang dipesankan Jeff waktu itu dengan dibumbui irisan bawang putih. Aku merasa tidak ingin mencobanya lagi. Herannya, Jeff dapat sekali memasukkan kudapan itu dan sekali telan masuk ke perutnya.

"Kau ada rencana mau mengerjakan apa hari ini?" tanya Jeff di sela-sela menyantap makanannya. Aku menggeleng.

Sampai di pelataran rumah aku turun dari mobil dan Jeff melanjutkan perjalanannya ke kantor. Sebentar kutatap rumah ini. Tempat tinggalku yang baru yang bangunannya seragam dengan bangunan di kiri kanannya. Satu dua pemikiran melayang-layang di benakku namun akhirnya aku bergerak melangkah maju menujunya. Membuka pintu dengan satu putaran kunci lalu masuk sembari menyalakan saklar lampu yang ada tepat di dinding sebelah kanan.

Aku menyalakan televisi 50 inch yang bagiku seperti kotak flat persegi panjang raksasa di ruang tamu yang kecil. kucoba keraskan volumenya namun aku masih merasakan kesunyian yang dalam. Aku merasa sendirian.

Teringat olehku pertanyaan Jeff sewaktu kami berada di restoran pancake. Aku harus melakukan sesuatu.

Hal pertama yang kulakukan adalah membersihkan rumah yang sudah rapi. mengepelnya dengan pewangi lantai akan membuat kebersihannya lebih sempurna. Barangkali. Selesainya aku ke dapur, mengecek isi kulkas. Sejurus putaran mata aku memastikan bahwa sebentar lagi aku akan berangkat ke toko.

Toko bahan pangan di Amsterdam ini dapat dicapai hanya sekitar sepuluh menit bersepeda. Aku tahu lokasinya saat setiap pagi aku dan Jeff mencari-cari menu sarapan di restoran-restoran yang berbeda. Sepeda kuparkirkan di halaman parkiran yang sudah berjubelan sepeda lain yang terkunci. Aku pun taklupa menggembok sepedaku. Di Solo aku takpernah menggunakan gembok untuk mengunci roda sepedaku.

Aku berjalan mencari-cari lokasi telur ayam. Sepertinya nanti malam aku dan Jeff tidak perlu keluar untuk makan malam. Aku akan mulai memasak untuknya.

Keranjang belanjaanku telah terisi dengan sekotak telur ayam isi dua belas butir, seplastik bakso beku,  susu cair dalam kotak 500 ml, seikat daun bawang, dan beberapa bumbu dapur. Aku siap menuju kasir ketika seorang ibu setengah baya menghampiriku. "Hey, Nak, kau menjatuhkan sesuatu," suaranya dalam bahasa Inggris yang lancar terdengar dari belakangku. Sebelum berbalik aku sempat bersyukur ada orang asing mengajakku berbicara dengan bahasa Inggris. Aku belum mahir berbahasa Belanda.

Ibu itu tampak sedikit membulatkan mata, seperti kaget takpercaya, ketika aku berbalik badan ke arahnya. "Kau seperti orang Indonesia," Ibu itu tampak anggun biarpun wajahnya terlihat beberapa kerutan. Dari usianya sepertinya beliau sudah enam puluhan tahun. Penampilannya rapi dengan dress bercorak batik warna hitam dengan batikannya berwarna fuscia gelap.

"Ya, saya orang Indonesia," jawabku menimpali dengan bahasa Inggris. Ibu itu seketika tersenyum senang. Ia segera menuju ke arahku.

"Kau menjatuhkan dompetmu, Nduk," kini ia menggunakan bahasa Indonesia yang fasih.

"Ibu dari Indonesia?"

"Aku dulunya tinggal di Madiun," mendengarnya, timbul kegembiraan di hatiku. "Sewaktu bekerja di Jakarta, aku bertemu jodohku dan kami menikah sudah tiga puluh tahun. Aku di Belanda ini ya kira-kira sudah 25 tahun. Begitu, Nduk."

Aku mengangguk-angguk. Rasa-rasanya aku senasib dengan beliau. "Suami Ibu orang Belanda?" Beliau menggeleng.

"Orang Padang. Tetapi, dia awalnya mendapat pekerjaan di Universiteit Leiden. Hal yang membuat kami pindah ke sini. Setelah dia pensiun, dia ikut-ikut temannya membuka rumah makan Padang," ia lalu menepuk-nepuk bahuku dengan lembut, "Mampirlah ke rumah makan kami, Nduk," ia berhenti dari jalannya yang sedikit tertatih-tatih pelan. "Tempatnya di sekitar Amsterdam sini. Untukmu aku berikan harga khusus yang lebih murah dengan porsi sesukamu" beliau mengerling. Tampak cantik di usianya yang sudah senja.

Aku menceritakan pertemuanku dengan Ibu Nora tadi siang dengan suamiku ketika kami tengah makan malam. Sepiring omelet dengan toping irisan bakso dan sosis juga irisan cabe merah dan bawang putih. Kami menyantapnya dengan nasi putih yang mengepul hangat, dan sepertinya Jeff menyukainya.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun